REPUBLIKA.CO.ID, Dalam sejarah, tidak sulit mencari pemimpin di kala keadaan serba menguntungkan serta fasilitas yang lengkap. Namun, sulit dan mahal untuk mendapatkan pemimpin sejati yang tabah bertahan dan rela menderita bersama rakyatnya dalam masa sulit, jauh dari fasilitas yang diinginkan.
Prof Dr Ahmad Syalaby dalam buku Masyarakat Islam (1961) melukiskan persaudaraan dan kebersamaan yang terbina dalam kehidupan umat Islam di zaman khalifah al-rasyidin. Pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Khattab, umat Islam di sekitar Madinah ditimpa bencana kelaparan yang telah menyebabkan wabah penyakit dan kematian.
Kelaparan dan penderitaan rakyat itu dirasakan oleh Umar sebagai penderitaan bagi dirinya. Karena itu, beliau bersumpah tidak akan mengecap daging dan minyak samin. ''Bagaimana saya dapat mementingkan keadaan rakyat, kalau saya sendiri tiada merasakan apa yang mereka derita,'' begitu kata Khalifah Umar yang amat berkesan pada waktu itu.
Kali lain, Umar bin Khathab pernah berkata, ''Kalau negara makmur, biar saya yang terakhir menikmatinya, tapi kalau negara dalam kesulitan biar saya yang pertama kali merasakannya.'' Sampai seorang sahabat pernah berkata, bila Allah tak segera mengakhiri bencana itu, maka Ali adalah orang pertama yang mati kelaparan.
Teladan kepemimpinan Umar bin Khathab ditemukan kembali pada sosok Umar bin Abdul Aziz, di masa pemerintahan Bani Umayyah tahun 717-720 M. Istri Umar bin Abdul Aziz, ketika menjawab pertanyaan orang-orang yang datang bertakziah atas wafatnya pemimpin teladan ini, menceritakan, ''Demi Allah, perhatiannya kepada kepentingan rakyat lebih besar daripada perhatiannya kepada kepentingan dirinya sendiri. Dia telah serahkan raga dan jiwanya bagi kepentingan rakyat.''
Rasulullah bersabda, ''Setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban (di hadapan Allah) tentang kepemimpinannya.'' Maka, betapa tak terpujinya para pemimpin yang hanya berorientasi melanggengkan kekuasaan dan melupakan penderitaan rakyatnya.