REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu'ti menilai, rencana Menteri Agama Fachrul Razi untuk melarang pemakaian cadar tidak bertentangan dengan Islam dan tidak melanggar HAM.
Pernyataan itu disampaikan Abdul Mu'ti dalam acara penyerahan dana CSR untuk pembangunan Masjid At-Tanwir di Pusat Dakwah Muhammadiyah Jakarta, Jumat.
"Kebijakan Menteri Agama yang melarang perempuan bercadar itu tak bertentangan dengan Islam dan tidak melanggar HAM," katanya.
Ia mengatakan ada dua hal yang harus dilihat secara saksama terkait rencana kebijakan Kemenag melarang pemakaian cadar di kantor pemerintah.Pertama, katanya, adalah terkait kode etik kepegawaian. Ia mengatakan kode etik kepegawaian sepatutnya harus dipatuhi oleh seluruh pegawai.
"Kalau dia pegawai, maka siapapun dia harus mematuhi kpde etik pegawai. Bahkan dalam konteks pembinaan, kepatuhan kepada kode etik berbusana adalah bagian dari penilaian kinerja dan loyalitas kepada institusi," katanya.
Kepatuhan tersebut, katanya, tidak hanya berlaku bagi mereka yang bercadar, tetapi juga pegawai yang berpakaian tidak sopan dan tak sesuai dengan norma agama, susila serta budaya bangsa Indonesia.
Berikutnya, ia mengatakan bahwa dalam ajaran Islam terdapat kewajiban untuk menutup aurat baik bagi laki-laki dan perempuan.
Namun, di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat mengenai cadar sebagai salah satu busana menutup aurat. Sebagian besar ulama, katanya, berpendapat bercadar tidak wajib dan perempuan boleh menampakkan wajah dan telapak tangan.
PP Muhammadiyah juga berpendapat bahwa Islam tidak mewajibkan perempuan untuk memakai cadar. "Yang perlu diluruskan adalah pemahaman yang menganggap mereka yang bercadar sebagai teroris atau radikal. Itu penilaian yang sangat dangkal dan berlebihan," katanya.
Oleh karena itu, ia menegaskan kembali bahwa rencana kebijakan Menteri Agama untuk melarang perempuan bercadar tidak bertentangan dengan Islam. "Kebijakan tersebut harus dilihat sebagai usaha pembinaan pegawai dan membangun relasi sosial yang lebih baik," kata Abdul Mu'ti.
Sementara itu, Kiki, salah seorang pegawai ASN di sebuah kementerian mengatakan rencana kebijakan itu sebagai hal yang wajar. "Kalau di lingkungan ASN itu sih wajar-wajar saja. Selama ini juga tidak ada yang pakai nikab (penutup wajah)," katanya.
Lagipula, kata dia, pemakaian nikab atau cadar dalam agama Islam tidak diwajibkan, bisa dibuka, bisa juga dipakai lagi.