REPUBLIKA.CO.ID, Diskusi tentang boleh tidaknya mengunjungi gereja atau bahkan melaksanakan shalat di gereja selalu mengemuka. Hal ini antara lain mengemuka setelah thriller Film The Santri oleh sebagian kalangan dituding sesat. Alasannya lantaran dalam film besutan Livi Zheng itu memuat adegan santri yang mengunjungi gereja dengan membawa tumpeng.
Pertanyaannya, apa sebetulnya hukum mengunjungi gereja? Lembaga fatwa Mesir Dar al Ifta me nyebutkan, prinsip hubungan antara Muslim dan non-Muslim adalah hidup berdam pingan dalam damai. Diperbolehkan bagi Muslim untuk bergaul dengan non-Muslim dengan cara yang tidak bertentangan dengan perintah Allah dan Rasulullah SAW.
Allah pun tidak melarang kita dari men jaga hubungan baik dengan non- Muslim, bertukar hadiah atau tindakan perlakuan baik lainnya. Allah SWT berfirman, "Allah tidak melarang kamu untuk ber buat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyu kai orang-orang yang berlaku adil...." [QS al-Mumtahanah : 8].
Menurut Dar al Ifta, tidak ada larangan hukum untuk mengunjungi gereja dengan tujuan mengadvokasi dan memperkenal kan Islam atau memberikan pujian pada kesempatan tertentu dalam batas-batas syariah.
Bahkan Dar al-Ifta berpendapat, diperbolehkan untuk shalat di dalam gereja jika sudah tiba waktunya kita berada di sana. Sebelum shalat, hendaknya Muslim itu meminta persetujuan dari penanggung jawab gereja setempat.
Adapun membaca, mempelajari dan membahas Alkitab, itu harus dilakukan para sarjana khusus yang fasih dalam poin keraguan dan memiliki alat untuk mengecilkan dialog antaragama.
Salah seorang ulama Saudi, Abdullah bin Sulaiman Al-Manea, mengungkapkan, jika Muslim bisa melakukan shalat di gereja atau sinagoge. Menurut dia, semua lahan milik Allah SWT. Salah satu hadis Nabi SAW yang berasal dari Abu Sa'id al-Khu dri, "Bu mi ini semuanya merupakan mas jid. Kecuali kuburan dan kamar mandi."
Anggota Dewan Ulama Senior itu mencontohkan, dalam berhubungan dengan non-Muslim, Rasulullah SAW menerima utusan kaum Nasrani Najran di masjidnya. Di masjid tersebut, kaum Nasrani pun berdoa menghadap ke Yerussalem dan Rasulullah membiarkannya.
Peneliti dari el-Bukhari Institute, Moh Juriyanto menukil kitab al-Adabu al- Syar'iyah wa al-Minah al-Mar'iyah karya Muhammad bin Muflih al-Maqdisi. Kitab itu menyebutkan beberapa pendapat ulama terkait hukum melaksanakan shalat di tempat ibadah non-Muslim.
Pertama, menurut Ibnu 'Aqil, melaksanakan shalat di tempat ibadah non-Muslim di nilai sah namun makruh, baik di dalamnya ada patung atau tidak.
Kedua, menurut Ibnu Tamim, jika di dalam tempat ibadah non-Muslim tidak ada patungnya, maka boleh memasuki tempat ibadah tersebut dan juga bo leh melaksanakan shalat di da lamnya. Pendapat ini sesuai dengan pendapat Ibnu 'Ab bas dan Malik.
Mereka berdua tidak memakruhkan shalat di dalam ge reja karena ada patungnya. Ketiga, boleh melaksanakan shalat di tempat ibadah non-Muslim asalkan bersih dan suci. Ini adalah pendapat sahabat Ibn 'Umar dan Abu Musa al-Asy'ari.
Hanya saja Umar bin Khattab pernah menolak shalat di gereja saat menyambangi Baitul Maqdis. Umar yang datang ke Yerussalem setelah Amr bin Ash menaklukkan negeri para nabi itu ditawari shalat di Gereja Makam Suci oleh Uskup Sophronius. Umar menolak. Dia memilih shalat di luar gereja.
Setelah menunaikan shalat, Umar meng ungkapkan, alasan dia tidak mau shalat di gereja karena khawatir jika umat Islam akan mengubah gereja ini menjadi masjid dengan dalih Umar pernah shalat disitu.
Sementara itu, dalam fatwanya, Syekh Yusuf Qaradhawi pun mengungkapkan, pilihan shalat di gereja bisa diambil seandainya memang tidak ada tempat lain atau masjid lain untuk shalat. Namun demikian, Syeikh Qaradhawi merekomendasikan untuk menghindari shalat di rumah peribadatan agama lain karena rawan fitnah.