REPUBLIKA.CO.ID, Cinta adalah ketetapan Allah SWT yang berlaku atas hamba-hamba-Nya sejak dulu, kini, dan hingga hari kiamat. Tak heran jika pembahasan cinta, termasuk salah satu bab yang dipaparkan tokoh Abad Pertengahan, Ibnu Qayyim al-Jauzy dalam kitabnya Raudhah al-Muhibbin (Taman Pencinta).
Penulis membagi buku ini menjadi 29 bab. Buku istimewa ini ditulis ketika penyusunnya jauh dari buku-buku rujukannya yang tertinggal di rumah. Syekh Ibnu Qayyim al-Jauziy menulisnya dengan memeras buah pikirannya. Dia lebih banyak bertumpu pada ingatan dan pendengaran. Untuk itu, penulis berdeklarasi siap menerima kritik dan teguran, bahkan menjadikan dirinya sebagai anak panah.
Dia menguraikan dengan detail cinta dari segi bahasa dan hakikatnya. Ibnu Qayyim Al Jauziy menyebut cinta mempunyai banyak nama. Salah satunya adalah mahabbah. Kata ini memiliki beberapa makna sekaligus. 'Mahabbah' disebut sebagai bersih dan bening.
Gigi yang putih dan indah akan dikatakan seorang Arab dengan sebutan mahabbah. Ada juga yang menyebut mahabbah berasal dari kata 'habab.' Artinya, air yang meninggi saat hujan deras. Mahabbah pun diartikan sebagai "luapan dan gejolak hati yang berkobar karena ingin bertemu dengan yang ia cintai (kekasih)".
Ada pula yang berpendapat mahabbah berasal dari kata 'hubb.' Artinya, empat tonggak kayu yang dipancang untuk menopang sesuatu di atasnya. Contohnya guci, tempayan, dan sebagainya. Cinta pun dikatakan sebagai hubb karena seorang pencinta sanggup menanggung beban bagi orang yang dia cintai.
Ibnu Qayyim juga menyebut jika alam luhur dan alam rendah ada karena cinta. Cinta ini menggerakkan alam itu sehingga bergerak. Cinta pun menjadi penggerak sekaligus tujuannya. Tak heran jika hakikat cinta adalah gerak jiwa seorang pencinta menuju Dia yang dicintainya. Kesempurnaannya adalah penghambaan, ketundukan, perendahan diri, dan ketaatan yang dicintai. Pada hakikatnya, cinta adalah cermin yang memantulkan gambar diri orang yang dicintai beserta segala sifat dan kelembutannya. Gambaran itu begitu nyata sehingga seakan ada tepat di hadapannya.
Cinta adalah kecintaan pada diri, tabiat, dan keserupaan yang melekat pada diri orang yang dicintai. Meski demikian, motif paling besar untuk pencinta yang lebih besar daripada keindahan dan kecantikan, yakni jiwa yang mulia, agung, dan suci. Cinta pun bisa terjerembap dalam nafsu. Sebuah kecenderungan manusia terhadap sesuatu yang dianggap cocok. Dia menjadi suatu kekuatan untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Dia butuh nafsu untuk makan, minum, dan meni kah. Nafsu mendorongnya kepada sesuatu yang dikehendakinya sebagaimana kemarahan mendorongnya untuk membela diri dari segala sesua tu yang mengusik dan mengancam hidupnya.
Nafsu tidak memikirkan akibat apa yang akan terjadi dengan dirinya. Karena itu, Allah SWT ketika bertutur tentang nafsu dalam ayat Alquran selalu mencelanya. Begitu pula dengan Sunnah. Semua hadis selalu disertai ungkapan untuk merendahkan nafsu. Sabda dari Rasulullah SAW, "Tidaklah beriman salah seorang diantara kalian hingga nafsunya (kehendaknya) mengikuti apa (syariat) yang kubawa. "Nafsu tidak bisa ditolak semua. Namun, diambil yang bermanfaat dan dibuang kemudaratannya.
Gambarannya bisa terlihat dari kisah Nabi Adam AS. Seusai diciptakan Allah SWT, Adam sendirian di surga. Konon, dia merasa kesepian. Hawa pun diciptakan untuk menemaninya. Adam dan Hawa pun turun ke bumi yang tergoda seusai memakan buah khuldi.
Di bumi, mereka kembali menata cintanya untuk beranak pinak. Habil, Qabil, Iqlima, dan Labuda menjadi buah cinta mereka. Lantas, mereka pun saling menikah hingga melahirkan kembali keturunan hingga sampai sanadnya kepada kita.
"Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya dia menciptakan pasangannya, agar dia merasa senang kepadanya" (QS al- Araf [7]: 189). Said Quthb dalam tafsir Fi Dzilal al-Quran menjelaskan, pada dasarnya pertemuan suami istri bersifat menyenangkan dan menenteramkan. Kesenangan ini pun menyelimuti rahim tempat tumbuhnya embrio sehingga menghasilkan anak manusia yang berharga. Anak ini pantas menjadi generasi muda untuk mengemban warisan peradaban manusia.