REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ahmed Hussein Deedat terlahir di Surat, India, 1 Juli 1918. Selama lima decade, ia melakoni sejumlah debat lintas agama. Ia adalah seorang Kristolog yang memiliki pengetahuannya tentang Kristen secara mendalam. Betapa tidak, ia telah mempelajari seluk-beluk Bibel sedari muda.
Caranya, ia membandingkan ayat-ayat Alquran dan isi Bibel dari berbagai versi. Tak heran jika misionaris harus berpikir ratusan kali untuk berdebat dengannya. Di Afrika Selatan, negara tempatnya tinggal, sudah ratusan orang yang masuk Islam, bahkan sebagian besar di antara mereka adalah para misionaris.
Deedat juga terkenal gigih untuk mendapatkan suatu hal. Dia akan mencoba menjangkau apa pun meski tampaknya mustahil. Sepanjang perjalanan hidupnya, ia sudah banyak sekali berdebat soal perbandingan agama dengan orang-orang terkenal.
Meski terlahir di India 93 tahun silam, ulama terkemuka ini lebih banyak menghabiskan hidupnya di Afrika Selatan. Pada umur 9 tahun, bersama ayahnya dia berimigrasi ke benua hitam. Semenjak itu, dia tidak berjumpa lagi dengan ibunya, Fathima, untuk selamanya. Sang ibu wafat pada 1930.
Saat masih bersekolah, Deedat dikenal sebagai murid yang sangat pintar. Akan tetapi karena keterbatasan keuangan ayahnya, dia tidak bisa melanjutkan sekolah. Dia justru menjadi pekerja di salah satu toko di bagian selatan daerah Natal, Afrika Selatan.
Toko tersebut terletak tepat di depan sekolah misionaris. Murid-murid dari sekolah itu sering mengolok-olok agamanya, mulai dari Alquran yang dianggap menjiplak Injil hingga Nabi Muhammad SAW yang disebut sebagai penakluk perempuan.
Ejekan itu justru membakar semangatnya untuk lebih mempelajari Islam dan juga sistem keyakinan Kristen. Seperti yang dituliskan Goolam, bahwa dalam salah satu wawancara dengan reporter Daily Reveille, Amerika pada 1986, Deedat mengungkapkan, dia menjadi ahli perbandingan agama dan melakukan banyak sekali debat sebenarnya karena terpacu oleh olok-olokan para murid sekolah misionaris itu.
Usaha pertama Ahmad untuk membalas ejekan itu adalah dengan membaca Izhar-al-Haq (Kebenaran Terungkap). Tulisan itu bercerita tentang sebuah debat di Delhi, India, antara seorang pendeta dan Maulana Dehlawi pada 1746. Logika berpikir Maulana Dehlawi tentang Kristenlah yang pertama kali dikutip Ahmad untuk menjawab olok-olok murid-murid sekolah misionaris itu.
Hasilnya, murid-murid itu pun bungkam, dan hal tersebut menambah kepercayaan dirinya. Mulai saat itu, dia mempelajari Injil dari berbagai versi dengan sangat detail. Sehingga, dia kemudian menjadi seorang tokoh dalam perbandingan agama, meskipun tidak pernah mengikuti jalur pendidikan formal universitas.
Deedat menikahi Hawa Gangat pada 1940. Selama perjalanan pernikahannya, mereka dikarunia tiga orang anak: Ebrahim, Yusuf, dan Rukayya. Hawa merupakan kekuatan dan semangat baginya. Dua tahun setelah menikah adalah saat pertama kali ia beceramah soal perbandingan agama di depan publik, mengambil tempat di Avalon Theatre di Durban, Afrika Selatan. Ketika itu, dia membuat sendiri pamflet tentang ceramah itu dan menyewa sendiri tempatnya.
Ia sempat menempuh perjalanan ke Pakistan pada 1949 karena tertarik dengan konflik umat Muslim di India yang ingin memisahkan diri dan membentuk negara tersendiri. Deedat kembali ke Afrika pada 1954 untuk bergabung dengan Arabic Study Circle.
Bertemu dengan beragam orang dari berbagai kalangan membuatnya semakin ingin mengembangkan diri dan pengetahuannya soal perbandingan agama. Keinginan ini semakin berkobar dengan semakin gencarnya usaha misionaris di Afrika Selatan, sementara kekuatan Muslim semakin melemah.