Selasa 29 Oct 2019 18:18 WIB

Pintu-Pintu Kemuliaan

Nabi SAW pernah menguji kadar keimanan para sahabat.

Takwa (ilustrasi).
Foto: alifmusic.net
Takwa (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Iman (agama) seperti diterangkan Nabi SAW dalam hadis sahih, memiliki cabang yang banyak sekali jumlahnya, mulai dari komitmen tauhid, “Tidak ada Tuhan selain Allah,” hingga kepekaan terhadap kebersihan dan kesehatan lingkungan, seperti memungut dan menyingkirkan hambatan di jalan. (HR Muslim dari Abu Hurairah). 

Hadis ini mengajarkan kepada kita bahwa iman pada dasarnya bukan hanya kata-kata yang diucapkan ( kalimatun tuqal), melainkan keputusan yang menuntut tugas dan tanggung jawab multidimensional, berupa kepatuhan kepada Tuhan ( devotional), ke pedulian ke sesama manusia (sosial), dan keluhuran budi pekerti alias akhlaq al-karimah(moral). 

Menarik disimak pertanyaan Nabi SAW untuk menguji kadar keimanan para sahabat. Katanya, “Siapa yang pagi ini puasa?” 

“Saya tuan,” jawab Abu Bakar. “Siapa yang hari ini mengantar jenazah?” tanya Nabi lagi. 

“Saya tuan,” jawab Abu Bakar. Nabi bertanya lagi, 

“Siapa yang hari ini memberi makan orang miskin?” Abu Bakar pun menjawab, 

“Saya Tuan.” Lalu, Nabi bertanya lagi, “Siapa yang hari ini menjenguk orang sakit?” 

Lagi-lagi Abu Bakar mengangkat tangan, seraya berkata, “Saya tuan.” Lalu, beliau bersabda, “Tak menyatu semua itu pada diri seorang, kecuali ia masuk surga.” (HR Muslim dari Abu Hurairah). 

Kisah ini menarik dan syarat dengan pelajaran. Abu Bakar, sahabat Nabi yang satu ini, memang istimewa. Ia selalu bersama Nabi di kala suka dan duka. Ia adalah sahabat yang menemani Nabi SAW di Gua Hira, saat orang kafir, pembunuh bayaran, mengejar hendak membunuhnya. Ia selalu membenarkan, tanpa ragu sedikit pun, apa-apa yang dibawa dan disampaikan oleh Nabi. Maka, gelar al-Shiddiq layak disandangnya. Ia pun pantas menjadi pengganti Nabi (Khalifah) pertama. 

Kisah ini menunjukkan bah wa jalan menuju Allah itu tidaklah tunggal, tetapi berbi lang ( muta`ddidah). Setiap kebaikan sejatinya adalah pintu atau jalan menuju Tuhan. Setiap orang dapat mengambil pintu atau jalan yang memung kinkannya “bertemu” Allah, setingkat ilmu, kemampuan, dan pengalaman masing-masing. 

Kisah ini juga menunjukkan pila-pilar kebajikan yang diajarkan Islam. Di antaranya pilar kepatuhan yang tinggi kepada Allah SWT (ibadah). Dalam kasus ini, kebajikan itu ditunjukkan dengan ibadah puasa, shalat, dan mengantar jenazah. Kebajikan ini berdimensi vertikal.

Berikutnya pilar amal saleh, yaitu kebaikan sosial, yang ditunjukkan melalui kesediaan memberi makan kepada orang miskin. Kebajikan ini berdimensi sosial dan horizontal. Lalu berikutnya lagi adalah pilar akhlak dan keluhuran budi pekerti, yang ditunjukkan de ngan menjenguk orang sakit. Kebajikan ini berdimensi moral dan sekaligus sosial. 

Dalam Alquran, kebajikan yang diajarkan Nabi SAW se perti diperagakan oleh Abu Ba kar al-Shiddiq itu dinamakan al-Birr, yaitu kebajikan yang lapang dan luas (QS al-Baqarah [2]: 177). Kebajikan di sini menunjuk bukan hanya pada as pek lahiriah dari agama, melainkan justru aspek batin ( inner aspect) yang menjadi kekuatan lahirnya kebaikan sosial dan kualitas moral. 

sumber : Hikmah Republika/A Ilyas Ismail
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement