Selasa 29 Oct 2019 04:33 WIB

Dari ‘Kaphe’ Ke Kafir: Istilah Yang Bikin Heboh dan Radikal?

Dari ‘Kaphe’ Ke Kafir: Istilah Yang Bikin Heboh dan Radikal?

Perlawanan rakyat Ternate. (Foto koleksi DR Muridan: Sampul buku tentang perjuangan Sultan Nuku)
Foto:
Para pejuang Aceh.

Efek dari syair ini luar biasa bagi rakyat Aceh. Saat itu keluarlah sebutan ‘kaphe’ (kafir) dan perlawanan kepada pihak kolonial beserta aparat bersenjata dan sipil mereka. Dari catatan tentang kisah komandan tentara Belanda di Aceh, Wiliam Benhard Scheepen, kepala divisi Marsose di Aceh, tergambar jelas efek kata 'kafir' itu. Tak hanya dia, namun banyak pihak kolonial yang mampus disambar rencong.

‘’Bahkan, kendati kemudian perlawanan besar bersenjata rakyat tampak bisa dipadamkan oleh Belanda, namun serangan terhadap militer dan pegawai Belanda berlangsung terus,” tulis Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil "Petite Histoire" Indonesia

Akibat kata kaphe (kafir) inilah yang disebut Belanda sebagai Atjeh Moorden atau "Pembunuhan Aceh." Antara 1910 hingga 1920, ada 75 kasus dan setelahnya, dari 1920 hingga 1930, ada 51 kasus aparat kolonial terbunuh di ujung rencong.

Petinnggi pemerintah kolonial, RA Kern dahulu pun sudah pernah menyelidiki soal Pembunuhan Aceh. Simpulan sederhananya: Ini terjadi karena balas dendam terhadap orang-orang Belanda yang disebut kaphe alias kafir. Pembunuhan ini terkadang dilakukan juga di tempat-tempat yang ramai.

Ada penggunaan kata kafir memang wajar kemudian menimbulkan pertanyaan. Bahkan seolah-olah  umat Islam tidak boleh menyebut kata ini. Kata ini layaknya kata yang tabu disebut layaknya kata ’Negro’ di Amerika Serikat atau 'Nazi' di Eropa pada hari-hari ini. Kata-kata tersebuh entah kenana menjadi simbol baru penyakit sosial hingga lambang otoriterisme.

Nah, agar menjadi terang soal kata ‘kafir’ itu marilah dirujuk saja kepada pernyataan Sejarawan Islam, Dr Tiar Anwar Bachtiar. Dia  menjelaskan, kata "kafir" berasal dari kata 'kafaro', dari Bahasa Arab yang artinya menutup. Dia mengatakan, kata kafir sebenarnya merupakan istilah internal umat Islam.

Tiar mengatakan, istilah kafir tidak hanya berarti orang non-Islam. Kata kafir atau kufaar (kufaar adalah bentuk jamak dari kafir) dalam Bahasa Arab juga berarti petani. Petani disebut demikian karena mereka menutup galian tanah.

"Petani dalam Bahasa Arab juga disebut kafir/kufaar. Artinya dia adalah orang yang menggali tanah kemudian menutupnya kembali," kata Tiar Anwar, Ahad (3/3/2019).

Selanjutnya, doktor dari Universitas Indonesia itu menerangkan, dalam internal umat Islam, kata kafir merupakan istilah bagi orang yang hatinya tertutup dari hidayah Allah. "Kalau secara istilah, kafir artinya orang yang hatinya tertutup dari hidayah Allah. Maka disebutlah kafir (tertutup)," kata Tiar.

Selanjutnya, Tiar Anwar mengatakan, Alquran menggunakan kata kafir secara obyektif. Alquran tidak memiliki tendensi hinaan ataupun kekerasan. Kata kafir merupakan istilah teologis, untuk membedakan orang yang menerima hidayah Allah (Muslim) dan yang menutup diri dari hidayah Allah (kafir).

Tian Anwar juga menegaskan bahwa istilah kafir hanyalah istilah teologi (akidah Islam). Bukan untuk istilah keseharian di masyarakat. Umat Islam tidak menggunakan istilah kafir sebagai kata sapaan.

"Tidak ada orang Islam yang memanggil orang non-Islam dengan sebutan hai kafir. Kalau dalam keseharian cukup dipanggil namanya saja," kata Tiar Anwar.

Di sisi lain, Tiar Anwar menambahkan, istilah serupa juga digunakan oleh agama-agama lain. Tiar Anwar menyontohkan, agama kristen menyebut orang yang tidak menerima ajaran Kristen dengan istilah 'domba yang tersesat'. Hal tersebut lumrah, karena pada dasarnya masing-masing agama memilki istilah untuk menyebut orang di luar agamanya (Di Hindu pun ada istilah Maitrah bagi yang tak menerima ajaran Hindu,red).

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement