Ahad 27 Oct 2019 03:02 WIB

Kualitas Shalat Sahabat

Setiap kata dan kalimat yang dibaca membuat mereka tenggelam dalam kebenaran.

Rep: Dialog Jumat Republika/ Red: Agung Sasongko
Shalat
Shalat

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sepotong malam di bulan Rajab. Rasulullah SAW bangun tengah malam un tuk memeriksa masjid. Dia hendak melihat adakah orang yang bangun pada malam itu.

Begitu dekat masjid, beliau mendengar suara Sayidina Abu Bakar as-Shiddiq sedang menangis dalam shalatnya. Abu Bakar hendak mengkhatamkan Alquran dalam dua rakaat shalatnya. Namun, ketika sampai pada ayat, "Allah telah membeli para mukminin, harta mereka dan jiwa mereka, bahwa bagi mereka adalah surga," (QS at-Taubah: 111), ia menangis keras. Air matanya menitik ke sajadah, sedangkan Nabi SAW berhenti di pintu masjid.

Di sudut lainnya, Nabi SAW juga mendengar Ali sedang menangis di dalam shalatnya. Ali pun berniat mengkhatamkan alquran dalam shalat dua rakaat. Ia sampai di ayat, "Samakah mereka yang tahu dan yang tidak tahu? Yang dapat menerima pelajaran hanyalah mereka yang berakal." (QS az-Zumar:9).

Di dua sisi lainnya, Nabi SAW mendengar kerasnya tangisan Muadz bin Jabal yang juga hendak mengkhatamkan Alquran. Dia selalu gagal karena selalu terhenti pada pertengahan surah yang dibaca atau ayat lainnya. Namun, bacaannya kembali terhenti karena air matanya selalu berlinang.

Demikian dengan Bilal bin Rabbah, seorang sahabat mulia yang memiliki keistimewaan se bagai muazin Rasulullah SAW. Bilal juga tersedu di tengah khu syuknya menjalankan shalat ma lam. Melihat para sahabatnya begitu khusyuk menjalankan shalat, Rasulullah juga menangis. Beliau pun pulang kembali ke rumahnya. Ketika subuh tiba, mereka shalat di belakang Nabi. Dia pun menghadap ke arah para sahabat dan bertanya. "Apa yang membuatmu menangis, Abu Bakar, ketika sampai pada bacaan 'innallahasytara' (Allah telah mem beli)?"

"Bagaimana tidak? Allah telah membeli jiwa para hamba- Nya. Tentunya jika ternyata hamba itu cacat? Tidak akan jadi di beli. Juga setelah dibeli tapi terlihat cacatnya. Atau, cacat saya diketahui kemudian dikembalikan. Bukankah saya menjadi penghuni neraka? Karena itu saya menangis."

Kemudian, datang Jibril dan berkata kepada Nabi. "Katakan, wahai Muhammad, kepada Abu Bakar. Jika pembeli tahu cacat si hamba dan membelinya dengan cacatnya itu, ia tidak bisa me ngembalikannya. Dengan cacat hamba-Nya—sebelum dicipta kan—dengan cacat itu pula Dia membelinya. Tidak ada yang dikembalikan. Demikian dengan cacat setelah dibeli."

Nabi bergembira mendengarnya, juga para sahabat. Pertanyaan selanjutnya kemudian disampaikan kepada Ali. "Apa yang membuatmu menangis ketika mem baca ayat 'qul hal yastawi'?" Ali menjawab, "Bagaimana tidak? Allah berfirman, samakah orang yang tahu dan tidak tahu? Bapak kita Adam adalah orang yang paling tahu. Seperti yang disampaikan Allah dalam firman- Nya: Allah mengajarkan Adam nama-nama keseluruhannya. Sedang kami tidak sama dengan beliau. Bagaimana bisa sama?"

Jibril pun datang memberi petunjuk untuk meluruskan anggapan Ali. Yang benar, tidak akan sa ma kelak pada hari kiamat an tara orang kafir dengan orang beriman. Orang kafir hanya me nyembah berhala, tidak beriman kepada Allah dan hari kiamat. Orang beriman menyembah Allah dan menyebut "Lalilahaillallahu Muhammadarrasulullah".

Orang mukmin akan berbuat baik saat bergembira. Jika ber buat buruk, dia beristighfar. Jika bepergian, meng-qasar shalatnya dan berbuka puasa. Itu tidak ber dosa. Tempat tinggal di kampung akhirat juga menjadi pembeda bagi orang mukmin dan kafir. Orang beriman akan menikmati surga, sementara orang kafir neraka.

Begitulah gambaran kualitas keimanan sahabat generasi perta ma. Mereka membaca Alquran dengan ilmu dan iman kepada Allah. Setiap kata dan kalimat yang dibaca membuat mereka tenggelam dalam kebenaran.

Mereka mengukur realitas la hir batin dengan pernyataan ke be naran dalam Alquran. Pikiran terguncang, sedangkan hati ber getar bila sampai pada ayat-ayat yang mengoreksi kondisi mereka atau ayat-ayat yang mengabar kan masa depan umat manusia yang mencekam (Wa'id). (Syekh Muhammad Ibn Abu Bakar da lam Ushufuriyah untuk Zaman Kita). 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement