Jumat 25 Oct 2019 07:33 WIB

Beda RPJP dan GBHN Menurut Prof Jimly

Setelah reformasi GBHN ditiadakan dan diganti oleh RPJP Nasional.

Rep: Fuji Eka Permana/ Red: Agung Sasongko
Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Jimly Asshiddiqie
Foto: Republika TV/Havid Al Vizki
Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Jimly Asshiddiqie

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) melihat Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional memiliki banyak kekurangan. Berbeda dengan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang lebih komprehensif dan terpadu.

Ketua Umum ICMI, Prof Jimly Asshiddiqie menyampaikan, setelah reformasi GBHN ditiadakan dan diganti oleh RPJP Nasional yang sudah dituangkan dalam bentuk undang-undang. Namun kalau RPJP dievaluasi ternyata banyak kekurangannya.

"RPJP yang ada ini banyak kekurangan, beda sekali dengan GBHN di zaman orde baru yang lebih komprehensif dan lebih terpadu," kata Prof Jimly kepada Republika di acara Dialektika ICMI bertema 'Perlukah GBHN Dihidupkan Kembali' di Gedung Ir. H. M. Suseno, Kamis (24/10).

Ia menerangkan, pihak-pihak yang terlibat dalam menyusun GBHN terdiri dari berbagai kelompok seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM), pengusaha dan lain sebagainya. Sementara yang terlibat menyusun RPJP Nasional hanya pekerja pejabat perencanaan.

Para pejabat perencanaan yang ada di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), provinsi, kabupaten dan kota umumnya didominasi oleh para ekonom. "Jadi kalau kita lihat RPJP yang sudah ada ini banyak kekurangannya, kalau dibandingkan dengan GBHN," ujarnya.

Prof Jimly menerangkan, RPJP sangat bias pemilihan umum (pemilu). Ketika RPJP dituangkan dalam rencana pembangunan lima tahun (Repelita) kemudian diterjemahkan dalam APBN dan APBD provinsi serta kabupaten/ kota itu sangat bias kampanye pilpres dan pilkada. Jadi presiden, gubernur, bupati/ walikota harus menuangkan janji-janji kampanye mereka di dalam Repelita.

RPJP juga bias pemerintahan atau eksekutif. Sebab RPJP disusun pejabat pemerintahan di bidang perencanaan. Sehingga saat penyusunannya tidak tergambar impian tentang pengadilan di Indonesia lima sampai 25 tahun ke depan di RPJP.

"Tidak tergambar impian tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD seperti apa, lembaga legislatif kurang tercermin di situ, jadi dia (RPJP) sangat bias eksekutif, cabang kekuasaan lainnya seperti legislatif dan yudikatif kurang tercermin (di RPJP)," jelasnya.

Prof Jimly juga menerangkan bahwa RPJP bias negara. Contohnya negara tidak terlalu memikirkan masa depan masyarakat madani atau LSM, masa depan media massa dan lain-lain karena tidak semuanya tertuang dalam RPJP.

RPJP juga bias ekonomi karena yang menyusun RPJP hampir semuanya para ekonom maka penyusunannya menggunakan perspektif ekonom. Karena umumnya Bappenas dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) didominasi para ekonom.

"Sehingga semua diabdikan untuk memperoleh ekonomi, sementara tentang kebudayaan jangka panjang tidak terbayangkan (di RPJP), sebabnya negara ini jadi seperti negara ekonomi, hukum pun diabdikan untuk kepentingan ekonomi, politik mengabdi kepada kepentingan ekonomi, seolah-olah ekonomi jadi panglima dari negara, jadi namanya negara ekonomi bukan negara hukum," jelasnya.

Prof Jimly menegaskan, saat menyusun GBHN semua pihak diminta masukan dan didengarkan aspirasinya karena GBHN harus komprehensif. Jadi menurutnya masuk akal jika ada usaha untuk menghidupkan kembali GBHN. Supaya pembangunan nasional sifatnya terpadu. ICMI mendukung adanya GBHN.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement