REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma'ahid Al Islamiyah (RMI) Nahdlatul Ulama (NU), KH Abdul Ghaffar Rozin memandang NU sebagai pesantren besar, sementara pesantren adalah NU kecil. Sejarah NU dan pesantren adalah sejarah perjuangan merebut, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan.
"Saat ini Indonesia memiliki lebih dari 29 ribu pesantren, memiliki lebih dari lima juta santri, dan memiliki lebih dari 90 juta komunitas santri," kata KH Rozin kepada Republika di Gedung Kesenian Jakarta dalam rangkaian acara peringatan Hari Santri 2019, Selasa (22/10).
Ia menjelaskan, bukan hanya jumlahnya saja yang banyak, pesantren juga memiliki komitmen dan doktrin keberagamaan yang menekankan nasionalisme, toleransi dan perdamaian. Besarnya kuantitas dan kualitas pesantren memberi makna bahwa pesantren bukan hanya menjadi obyek.
Pesantren juga sepantasnya menjadi subyek aktif bagi pencapaian cita-cita kemerdekaan. Seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan beberapa kebijakan seperti capaian the sustainable development goals (SDGs).
KH Rozin mengatakan, pesantren menyadari besarnya tantangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. "Hampir seluruh negara termasuk Indonesia dihadapkan pada tantangan revolusi industri 4.0 dan menguatnya paham serta sikap intoleran bahkan radikal," ujarnya.
Maka, dia menegaskan, sebagai bagian dari komitmen pengabdian kepada bangsa dan negara, pesantren akan menguatkan kompetensi dan secara aktif melawan radikalisme. Pesantren tetap menjadi bagian dari negara dan bangsa untuk mencapai zaman emas 2045.