Ahad 20 Oct 2019 05:01 WIB

Nyi Roro Kidul, Ki Sabdo di MPR: Sumber Mistis Penguasa Jawa

Kalijaga, Roro Kidul, Ki Sabdo di MPR: Sumber Mistis Penguasa Jawa

Lukisan Nyai Roro Kidul di kamar 308 Hotel Samudra Beach, Pelabuhan Ratu, Sukabumi.
Foto: Didin Siradjudin AR
Lukisan Nyai Roro Kidul di kamar 308 Hotel Samudra Beach, Pelabuhan Ratu, Sukabumi.

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Dalam mitologi wangsa kerajaan Mataram ada dua sosok ghaib yang selalu dipakai sebagai penasihat kekuasaan. Dia adalah Sunan Kalijaga dan Ratu Kidul (Nyi Roro Kidul).

Peran dua sosok ini unik dan selalu jadi acuan sejak Mataram  berdiri. Sosok Sunan Kalijaga dipakai sebagai basis moral bila kerajaan ini merupakan kerajaan yang memakai penasihat ulama (para wali) yang muncul sejak zaman Kerajaan Islam Demak.

Sedangan sosok Nyi Roro Kidul relatif hadir lebih baru, sebab baru saja menjadi acuan sejak Kerajaan Mataram berdiri, tepatnya semenjak zaman Panembahan Senapati. Sebelum itu, yakni sejak zaman Kerajaan Pajang, Demak, bahkan Majapahit sosok Nyi Roro Kidul tak dikenal. Kisah Nyi Roro Kidul muncul pertema kali dalam kisah Babad Tanah Jawa yang ditulis semenjak kerjaan Mataram berdiri.

Sosok Sunan Kalijaga sangat hebat dikisahkan. Dia bisa menasehati berbagai raja Mataram dalam kurun berbeda. Alhasil, usia dia kalau mengacu pada babad, bisa sampai ratusan tahun. Pendek kata, Sunan Kalijaga bagi wangsa Mataram adalah penasihat yang ‘paripurna’. Dia dikisahkan sebagai seorang ulama berbaju sorjan berwarna ‘wulung’ yang selalu memberi nasihat kepada raja wangsa ini dikala kesulitan.

Salah satu kisahnya terjadi pada sosok Sri Sultan Hamengku Buwono ketika baru saja naik takhta pada awal tahun 1940-an. Kala itu dia tak punya wakil raja (patih) sehingga oleh Gubernur Jendral Belanda segera diminta untuk mengisi kekosongan jabatan itu. Bagi Belanda jabatan patih itu adalah ‘maha penting’ sebab melalui dialah cegkeraman tangan kekuasaan kolonial dilaksanakan.

Tapi untuk berapa lama Sultan tak bersedia mengisi kekosongan itu. Ini pun dipahami sebab selama ini sebenarnya yang berkuasa sebagai pelaksana dan pengatur kerajaan adalah sang patih. Sultan tahu bahwa selama ini posisi dia sebagai raja —beserta para pendahulunya— adalah sebagai lambang saja.

Maka desakan kepada Sultan untuk menujuk Patih saat itu sangat kuat. Berbagai perundingan digelar. Tapi Sultan HB IX bergeming. Dia terus mengulur penunjukan patih. Kala itu, kata Sultan HB iX dalam wawancara dengan BBC pada tahun 1998, pihak Belanda mulai terlihat kesal.Namun, entah mengapa pada suati hari tiba-tiba saja Sultan mau menandatangi penunjukan posisi patih kerajaan. Pihak Gubernur Jendral Belanda pun terkejut karena mendapati sikap Sultan yang mendadak berbalik total. Ini tentu mengherankan.

Usut punya usut dalam wawancara itu Sultan HB IX mengaku mendapat petunjuk setelah bertemu dengan sosok ghaib bernama Sunan Kalijaga. Pada suatu sore mendadak ada seseorang tua berbaju takwa dengan memakai surjan berwarna daun gadung. Dia memperkenalkan diri sebagai Sunan Kalijaga.

Nah, dalam pertemuan itu Sunan Kalija menyarankan agar segera saja tandatangi penunjukan patih itu.’’Tandatangani saja. Itu tidak lama,’’ kata Sang Sunan melalu ‘wisik’-nya. Sultan HB IX yang saat itu setengah tertidur langsung tergeragap bangun mendengar bisikan yang begitu jelas di telinga.

Maka langsung saja pada sore hari itu dia minta agar besok surat penunjukan patih akan ditandatanginya. Dan benar saja, keesokan harinya Sultan langsung tanda tangan dengan tanpa alasan sehingga banyak pejabat kolonial keheranan karena sebelumnya Sultan sangat ngotot tak mau tanda tangan.

Dan benar saja, tak lama kemudian bala tentara Jepang datang ke Indonesia. Kekuasaan Belanda disapu prajurit Dai Nippon dalam waktu hanya dua pekan sehingga mereka harus menyingkir ke Australia. Bagi Sultan HB IX situasi ini juga menguntungkan sebab soal penunjukan patih Kasultanan Jogja terlupakan. Sehingga ke depan sampai ke masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, Sultan IX betul-betul eksis berkuasa tanpa direcoki sosok yang selama ini sebagai ‘kepanjangan kolonial’ yakni patih kerajaan.

                

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement