Rabu 16 Oct 2019 17:00 WIB

Cendikiawan di Istanbul Bahas Hubungan Sipil-Militer

Para cendikiawan mengungkap sejumlah masalah di Dunia Islam.

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Agung Sasongko
Ilustrasi Masjid
Foto: Foto : MgRol112
Ilustrasi Masjid

REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL -- Para ulama dalam sebuah pertemuan di Istanbul, Turki, mendesak negara-negara Muslim untuk mengembangkan sistem inklusif dalam pengambilan keputusan di semua tingkatan. Dalam kegiatan yang digelar oleh The Centre for Islam and Global Affairs (CIGA) tersebut, sekitar 20 cendekiawan berkumpul dan memperdebatkan soal hubungan sipil-militer di seluruh dunia.

Mereka menekankan pada kebutuhan untuk memahami esensi sistem politik dan realitas lokal di Timur Tengah dan Afrika Utara. Pada kesempatan itu, para cendekiawan mengatakan, bahwa kurangnya transparansi, sistem demokrasi yang lemah dan intervensi militer yang sering ada dalam sistem pemerintahan, adalah sejumlah masalah yang mengganggu sebagian besar negara di dunia Muslim.

"Militer berada di pusat pengambilan keputusan," kata profesor di Universitas Aljir di Aljazair, Rachid Tlemcani, dilansir di Anadolu Agency, Rabu (16/10).

Ia mengatakan, militer di wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara memiliki hubungan yang kuat dengan pemain eksternal. Terutama, dalam hal pembelian senjata dan kemudian mencari dukungan untuk memerangi orang-orang, ketika mereka menghadapi aksi protes jalanan. Karena itu, menurutnya, kini saatnya untuk mengembangkan pendekatan baru.

"Kita tidak dapat memahami situasi dalam masyarakat kita dengan pendekatan tradisional dan konsep ilmu politik. Teori baru harus mencerminkan kompleksitas realitas lokal," lanjutnya.

Tlemcani menekankan, bahwa pemerintah di negara-negara Muslim perlu mengembangkan sistem untuk membawa semua orang ikut serta dalam proses pengambilan keputusan, ketimbang menyerahkan kekuasaan dalam entitas tunggal atau kelompok kecil.

Dalam hal ini, ia merekomendasikan untuk mengenalkan demokrasi dan proses pengambilan keputusan di tingkat desa dan kota. Hal itu dilakukan untuk mengorganisir masyarakat untuk mengambil keputusan pada masalah sehari-hari mereka.

Selain itu, ia juga mendesak militer untuk fokus pada ancaman eksternal dan melindungi wilayah perbatasan, daripada ikut campur dalam politik. Tlemcani mengatakan, kawasan tersebut akan tetap bergantung pada mitra asing untuk pengembangkan dan perlindungan keamanan nasional, jika militer tidak kembali ke barak.

Pada kesempatan ini, para cendekiawan membahas contoh dari kasus Pakistan. Mereka mengatakan, bahwa militer dan politisi di negara itu telah saling menggunakan kekuasaan untuk memajukan kepentingan mereka.

Dari mulai Zulfiqar Ali Bhutto hingga Nawaz Sharif, mereka memandang sebagian besar perdana menteri di Pakistan menggunakan pundak militer untuk berkuasa. Namun begitu mereka mengkonsolidasikan kekuasaan itu, mereka memulai konfrontasi daripada mengembangkan dan memperkuat sistem.

Ejaz Hussain, yang mengajar di Universitas Iqra di Pakistan, mengatakan militer menjadi aktor utama pada 1960an di negaranya. Sebelumnya, kata dia, birokrasi sipil menjadi kekuatan yang berkuasa. Menurutnya, Pakistan mempertahankan sistem negara demokrasi yang rusak dan belum berevolusi sejak didirikan pada 1947.

Ia mengakui sangat sedikit diskusi tentang hubungan sipil-miloter di Pakistan. Menurutnya, para aktor dalam politik di Pakistan, khususnya birokrasi sipil dan para politisim, mengandalkan peran demokrasi.

"Mereka menggunakan demokrasi sebagai alat untuk memanipulasi dalam hal suara pemilihan untuk memasuki parlemen dan kemudian mereka tidak pernah menggunakan cara demokratis dan menggunakan kekuatan untuk mempromosikan kepentingan politik atau komersial mereka," katanya.

Sementara itu, menurutnya, pendiri Pakistan Muhammad Ali Jinnah justru membayangkan sebuah negara dengan fondasi politik yang kuat. Ia mengatakan, Jinnah tidak suka birokrasi militer dan sipil untuk campur tangan dalam sistem politik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement