Ahad 13 Oct 2019 10:00 WIB

Kritik al-Ghazali dan Lintasan Sains di Dunia Islam

Al-Ghazali, seorang filsuf Islam berpengaruh di abad pertengahan.

Rep: Zainur Mashir/ Red: Agung Sasongko
(Ilustrasi) Naskah 'Kimia Kebahagiaan' oleh al-Ghazali
Foto: tangkapan layar wikipedia.org
(Ilustrasi) Naskah 'Kimia Kebahagiaan' oleh al-Ghazali

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Dinasti Abbasiyah, yang didirikan pada 750 M, telah mengubah Dunia Islam menjadi tempat percampuran budaya, perkembangan intelektual dan juga arsitektur. Hal tersebut menjadikannya sebagai perbedaan yang mencolok dengan Kekhalifahan Ummayad dan Rashidun sebelumnya. 

Diketahui bahwa sebagian besar filsuf dan ilmuwan pada periode Abbasiyah ini, tidak hanya mempraktikan Muslim saja. Tetapi juga terbuka untuk beragam teks dan pengetahuan lainnya. Al Farabi dan Ibnu Sina atau biasa dikenal sebagai Avicenna oleh dunia Barat, adalah contoh utama yang tetap menjadi filsuf Islam, dan juga memberikan kontribusi besar-besaran untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

Namun demikian dilansir dari Eurasia, Sabtu (12/10), Al-Ghazali, seorang filsuf Islam berpengaruh di abad pertengahan yang juga masuk periode Abbasiyah itu, jauh lebih mengubah lintasan sains di dunia Islam. Al-Ghazali yang memiliki pegangan kuat pada yurisprudensi Islam dan filsafat Yunani, kemudian memiliki pengaruh yang melebar, tidak hanya di akademik tetapi juga di lingkungan politik.

Dalam beberapa bukunya, ia sangat mengkritik para filsuf dan ilmuwan sebelumnya karena kekaguman mereka yang buta terhadap para filsuf Yunani dan upaya mereka untuk memahami dunia fisik tanpa melibatkan perspektif teologis ke dalamnya. Kritiknya terhadap Al-Farabi, Avicenna, Aristoteles, Plato dan berbagai filsuf lainnya didorong oleh teologi dan dimaksudkan untuk menghidupkan kembali kemurnian Islam yang hilang. 

Al Ghazali yang lahir di Persia pada abad ke-11, selanjutnya juga mengusulkan anti-tesis terhadap teori sebab-akibat yang banyak digunakan oleh Aristoteles. Teori Aristoteles itu kemudian dikembangkan juga oleh para pengikut intelektualnya seperti Al-Farabi dan Avicenna.

Terpisah, Al-Ghazali berpendapat bahwa teori sebab akibat adalah sikap reduksionis dalam memahami sifat kompleks dari fenomena yang terus terjadi di dunia ini. Dia yang menganut teori occassionalism, tentu berbeda 180 derajat dengan Aristoteles. 

Occassionalism adalah teori yang mengklaim bahwa setiap peristiwa yang terungkap tidak bergantung pada penyebabnya, melainkan berdasarkan campur tangan Tuhan secara langsung atau melalui perantara-Nya terkait pemenuhan peristiwa tersebut. Teori ini berselisih dengan pemahaman Aristotelian tentang Tuhan yang tidak berdaya atau pasif. 

Al-Ghazali berpendapat bahwa setiap objek material di dunia ini terdiri dari atom. Di mana atom-atom ini tidak mewujudkan kualitas atau atribut apa pun, melainkan membentuk konstitusi tubuh suatu zat.  

Lebih jauh, Al-Ghazali secara gamblang menjelaskan argumennya, bahwa penjelasan apa pun untuk fenomena alam harus memenuhi empat ketentuan.  1) Tidak ada hubungan yang perlu antara sebab dan akibat, meskipun masih ada dalam kuasa Allah untuk membangun hubungan.  2) Efeknya dapat terjadi tanpa gangguan dari penyebab sebelumnya.  3) Tuhan menciptakan dua peristiwa berdampingan.  4) Tuhan menentukan ciptaan-Nya yang kemudian disebutnya sebagai takdir.

Dia juga menuturkan bahwa para filsuf yang bertujuan untuk menawarkan penjelasan logis dan kausal tentang dunia, telah gagal untuk melihat secara umum dan hanya melihat tampak luarnya. Menurut Al-Ghazali, tidak ada hukum alam, yang ada hanyalah, perilaku Allah yang mengatur dunia.  

Dalam prosesnya, ada pertanyaan yang cukup menohok darinya, yaitu, bagaimana suatu fenomena alam dapat dipelajari dan dianalisis secara ilmiah ketika hukum-hukum alam hanyalah manifestasi dari perilaku Allah yang mengalami perubahan yang luar biasa?

Menurut dia, dalam ilmu pengetahuan yang netral dalam hal afiliasi, keagamaannya diIslamisasi seiring berlalunya waktu. Sebab, gagasan Ilmu Pengetahuan Islam tidak memiliki akar dalam sejarah awal Islam.

Selanjutnya, seiring berjalannya waktu, fenomena Ilmu Pengetahuan Islam mulai muncul pada abad ke-12. Di mana, jauh sebelumnya itu, sains diperlakukan sebagai disiplin yang terpisah dari ilmu agama.  

Proses filsafat dan mengislamkan sains, dimulai pada awal abad ke-12 dan telah membuang jauh filsafat Yunani, India, dan Persia, serta penafsiran agama yang murni berkuasa. Namun demikian, terkait keterbukaan umat Islam terhadap sumber-sumber pengetahuan lain selain dari kitab suci agama, digantikan oleh sikap ultra-religius terhadap ilmu pengetahuan setelah abad ke-12.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement