Sabtu 12 Oct 2019 08:56 WIB

Ngaji Ushul Fikih untuk Moderasi

Berjihad literasi menjadi salah satu pilihan untuk melakukan deradikalisasi.

Pengajian Rumah Daulat Buku (Rudalku) membahas kitab usul fiqih berjudul al-Waroqot.
Foto: Dok LDB
Pengajian Rumah Daulat Buku (Rudalku) membahas kitab usul fiqih berjudul al-Waroqot.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pagi sekira jam 9 WIB beberapa orang dengan tampilan berjenggot, dandanan ala Afghanistan, celana cingkrang, baju gamis,  dan juga ada yang bertopi, berkaos dan berjins, tampak sudah mulai berdatangan di sebuah rumah kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Lingkungan rumah yang tampak asri dengan cukup banyak pepohonan dan tanaman bunga terasa begitu tenang. Kendati kemarau tengah menyengat warga Jakarta, rumah yang berada di sebuah komplek perumahan ini terasa adem.  Masuk di perumahan seakan tidak berada di ibukota negara, mungkin kesannya selaksa masuk di daerah kabupaten. 

Rumah yang cukup lapang ini, sudah dijadikan laiknya kantor atau markas sebuah LSM bernama Lembaga Daulat Bangsa (LDB). LSM itu  berdiri tahun 2011. Rumah ini juga tempat ngumpul dan ngopi para aktivis. Seiring waktu, rumah dengan arsitektur gaya semi limas ini juga diperuntukkan untuk ‘olah pikir’ dan mungkin juga ‘olah rasa’. Ya, di sinilah sebuah pengajian bulanan digelar. Hingga kini ini sudah berjalan 16 kali.

Pengajian ini merupakan rangkaian kegiatan program literasi untuk para eksnapiter atau biasa disapa ‘Ikhwan”, yaitu Rumah Daulat Buku (Rudalku) yang mulai dicanangkan tahun 2017 di bawah payung Lembaga Daulat Bangsa (LDB).

Pengajian ditempatkan di garasi yang disulap jadi galeri, perpustakaan dan tempat kegiatan. “Kalau dulu peradaban lahir dari tepi sungai kayak sungat Efrat, Nil dan lainnya. Sekarang peradaban lahir dari garasi. Contoh pendiri Facebook mengawali dan mengoperasikan gagasannya dari garasi. Yah, kita manfaatkan garasi untuk hal yang kreatif dan bermanfaat sebagai wujud kerja peradaban,” tutur Soffa Ihsan, pendiri LDB, melalui rilis yang diterima Republika.co.id, Sabtu (12/10).

Soffa Ihsan yang asli Blora, Jateng; bersama Saefullah yang sedang menyelesaikan doktornya di UIN Syarif Hidayatullah dan juga dosen di IIQ; dan  Mukti Ali, alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo bersama bergiat dalam gerakan literasi lewat Rudalku. Mereka punya kesamaan visi di dunia literasi. Pengalaman mereka sebagai santri yang lalu menjadi peneliti, penulis dan penceramah tepat nian mempersatukan tekad untuk menggerakkan literasi di negeri yang tingkat bacanya masih cukup rendah ini. 

“Berjihad literasi menjadi pilihan kami  saat ini termasuk literasi yang dikaitkan dengan deradikalisasi. Apalagi di era post truth di mana kebenaran bisa dilipat-lipat, upaya sekecil apapun untuk menggiatkan literasi, menurut kami, insya Allah menjadi sesuatu yang penting,” kata Soffa Ihsan yang lebih senang disebut sebagai Marbot.

Ia menambahkan, saat ini  belum banyak atau mungkin masih sangat langka program literasi seperti dilakukan Rudalku. Dengan konsep berbasis rumah masing-masing ‘Ikhwan’  untuk mendirikan perpustakaan dan lalu dijadikan sebagai Taman Baca Masyarakat (TBM) bagi warga sekitar.  “Kami mencoba menghadirkan konsep yang inovatif dan out of the box dalam dunia deradikalisasi. Dan pengajian menjadi salah satu kegiatan literasi yang diwujudkan oleh Rudalku khusus bagi para Ikhwan,” tuturnya.

Ia menyebutkan,  jumlah ‘Ikhwan Rudaller’ yang sudah mendirikan Rudalku ada 20 orang. Mereka tersebar di Jabodetabek, Medan, Madiun, Palembang dan Semarang. “Khusus pengajian memang masih diperuntukkan untuk Ikhwan yang berada di Jabodetabek,” ujarnya.

Pengajian yang diampu Rudalku ini mengkhususkan pada kajian ushul fikih, sebuah disiplin ilmu keislaman yang membahas soal metodologi hukum Islam atau juga disebut filsafat hukum Islam. “Dengan mengkaji ushul fikih, para ikhwan diajak kembali ke akar untuk memahami ajaran Islam. Mereka jadi tahu, oh ternyata untuk menafsirkan ayat Alquran dan Sunnah tidaklah sembarangan, harus tahu metodenya yang telah dirumuskan oleh para ulama terdahulu,” jelas pria yang sedari kecil maniak buku ini. 

Ia menyebutkan, kitab yang dipilih adalah kitab al-Waroqot, karya Syeikh Imam Mahalli As-Syafi’i. Ia  lahir di Kairo, Mesir pada awal Syawal 791 H/September 1389 dan wafat pada pertengahan Ramadhan 864 H/1459. Kitab ini memang pasaran dikaji di pesantren-pesantren tradisional Salafiyah dengan model sorogan. Sering pula dikaji saat ngaji pasanan Ramadhan,” tuturnya. 

Ia menambahkan, para santri tentu sangat mengenal kitab dengan model jilidan ‘korasan’ ini. Model ngaji gaya santri inilah yang dicobaujikan di Rudalku dan juga bergaya sorogan. Para Ikhwan diberi kitab al-Waroqot masing-masing, lalu menyimak kata perkata dari ustadz. Sembari itu, sang ustadz menjelaskan pengertian kalimat yang sudah dibaca dan disimak tersebut. 

Pengampu ngaji ushul fikih ini adalah Mukti Ali. Sosok kelahiran Cirebon serta peneliti, penulis banyak buku dan ustaz dengan jam terbangnya yang tinggi ini didapuk sebagai murabbi-nya untuk mendedah kitab al-Waroqot yang merupakan disiplin ilmu keislaman yang nyaris tidak pernah dipelajari oleh para Ikhwan selama mereka berada di jaringan sebelumnya. 

“Para mentor mereka lebih suka menyuapi doktrin yang siap saji tanpa menjelaskan ‘manhaj’ bagaimana metode untuk memahami semesta ajaran Islam. Padahal ulama salaf sudah banyak menulis kitab-kitab  ushul fikih yang jumlahnya tak terhitung. Peletak dasar ilmu ushul fikih sendiri adalah Imam Syafi’i dengan kitabnya paling awal, yaitu al-Risalah,” kata Mukti Ali.

Ia mengemukakan, melalui pendekatan ngaji ushul fikih di Rudalku ini, berasa kian berwarna pendekatan dalam deradikalisasi. Kajian ini justru langsung ‘menusuk’  pada pola pikir dan idiologi. “Tidak banyak ikhtiar deidiologisasi yang dilakukan, lantaran sejauh ini lebih banyak pendekatan disengagement dengan memberikan bantuan kewirausahaan kepada para Ikhwan seperti dilakukan BNPT. Pastinya, semua ‘terapi’ layak dilakukan secara bergandengan,” paparnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement