REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG – Cendekiawan Muslim, Prof Azyumardi Azra, menyatakan pendidikan karakter yang tepat adalah yang berbasis agama. Jika konteksnya agama Islam, pendidikan karakter yang berbasis Islam wasathiyah (moderat). Islam wasathiyah sama dengan moderasi beragama yang menjadi tema pokok Kementerian Agama.
Azyumardi mengatakan, dalam Alquran juga disebutkan ummatan wasathan. Yakni umat yang karakternya dan sikapnya selalu di tengah, tasawuth, tawazun, dan adil. Artinya umat yang tidak berlebihan dan tidak ekstrem.
"Sebetulnya karakter Islam wasathiyah itu sudah ada sejak berabad-abad yang lalu, tapi terganggu oleh perkembangan dinamika global yang menumbuhkan era disrupsi," kata Azyumardi saat diwawancarai Republika.co.id usia sisi pleno pertama INCRE di Hotel Santika Bintaro, Selasa (9/10) malam.
Azyumardi dalam kesempatan tersebut salah satu narasumber utama pada The 1st Internasional Conference on Relegion and Education (INCRE) yang diselenggarakan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama (Kemenag).
Guru besar UIN Jakarta ini menerangkan, di era disrupsi ada globalisasi, liberalisasi pasar, liberalisasi politik dan liberalisasi ekonomi yang menimbulkan kekacauan.
Kondisi ini, kata dia, beriringan dengan kemunculan Revolusi Industri 4.0 yang mengubah pola hubungan antar manusia. Di era ini juga manusia menjadi semakin terasing karena penggunaan gadget yang berlebihan.
Maka Azyumardi menyarankan perlunya membangun kembali pendidikan karakter yang berbasis Islam wasathiyah. Memang sekarang pendidikan karakter sudah mulai diterapkan di sekolah dasar sampai perguruan tinggi sejak diperkenalkan kurikulum 2013. “Tapi pendidikan karakter tersebut belum berhasil karena guru-gurunya belum memiliki karakter Islam wasathiyah,” tutur dia.
Hal tersebut, menurut Azyumardi lantaran sebagian dari guru tersebut ada yang sudah terpapar paham radikal, yang tidak cocok dengan Islam wasathiyah. “Maka guru-gurunya ini harus diluruskan dulu konsep wasathiyah-nya," ujarnya.
Dia mengusulkan agar guru-guru mendapat pendidikan dan pelatihan tentang keagamaan, kebangsaan dan keindonesiaan. Supaya mereka memiliki karakter Islam wasathiyah. Sebab bangsa dan umat Islam di Indonesia sangat rugi kalau masih ada yang mempertentangkan Islam dengan Pancasila
Menurutnya, pendidikan karakter yang diterapkan sekarang juga belum berbasis Islam wasathiyah. Pendidikan karakter di perguruan tinggi berbeda-beda. Ada yang menerapkan pendidikan karakter berbasis multi agama, artinya agama-agama diajarkan dan diperkenalkan ke mahasiswa.
Pendidikan tersebut, kata dia, lebih menekankan kepada pengenalan agama-agama daripada penanaman nilai-nilai yang bersifat substantif mengenai karakter. Oleh karena itu cendekiawan Muslim ini menganjurkan agar mengevaluasi kurikulum dan silabus pendidikan karakter terutama melalui mata kuliah pendidikan agama Islam.
"Pendidikan karakter jadi pendidikan yang menumbuhkan jati diri sebagai orang Islam dan Indonesia (yaitu) jati diri wasathiyah, maka pendidikan karakternya harus berbasis Islam wasathiyah," jelasnya.
Azyumardi menegaskan bahwa pemerintah punya sumber daya tenaga dan keuangan. Maka pemerintah memiliki kewajiban untuk melatih dan memperkuat pemahaman Islam wasathiyah para guru. Sebenarnya ormas Islam sudah memberikan pendidikan Islam wasathiyah. Tapi ormas Islam sumber dayanya terbatas, maka pemerintah harus membantu mereka.
Menurutnya, bantuan pemerintah sekarang terhadap program ormas Islam untuk mencetak guru yang berkarakter Islam wasathiyah masih sporadis. Contohnya pemerintah mendanai acara seminar yang digelar ormas Islam senilai ratusan juta rupiah, tapi hasilnya tidak efektif.
"Kalau saya mengusulkan program pembinaan guru yang wasathiyah itu harus berkesinambungan, jangan hanya pembinaan dalam bentuk seminar di hotel, setelah itu bubar jadi enggak ada hasilnya, maka perlu program yang berkelanjutan," katanya.