Selasa 08 Oct 2019 09:40 WIB

Studi: Sejarah Berutang Besar pada Perawi Hadis Perempuan

Para perawi hadis laki-laki bergantung pula pada perawi hadis perempuan.

Rep: Rahma Sulistya/ Red: Nashih Nashrullah
Ilustrasi Muslimah
Foto: Mgrol120
Ilustrasi Muslimah

REPUBLIKA.CO.ID, Muslimah bersama dengan pria, tentu sangat berpartisipasi dalam membangun budaya dan peradaban Islam. Mereka unggul dalam puisi, sastra, dan seni. Selain itu, Muslimah juga telah menunjukkan kontribusi nyata dalam matematika, astronomi, kedokteran dan dalam profesi perawatan kesehatan.

Namun, studi tentang peran Muslimah dalam kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, kedokteran dan pemerintahan, ini sulit untuk didokumentasikan karena hanya ada sedikit yang menyebutkannya.

Baca Juga

Misalnya saja pada temuan 5 juta manuskrip asli peninggalan zaman kuno, baru 50 ribu yang diteliti untuk diedit dan dipelajari, dan manuskrip itu bukan menjelaskan peran Muslimah dalam sains, melainkan tentang peran di bidang lain. 

Mengedit naskah yang relevan, memang merupakan masalah strategis bagi para peneliti, untuk menemukan peran Muslimah dalam sains dan peradaban secara lebih lanjut dan mendalam. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi para peneliti, untuk mengungkap manuskrip asli lainnya.

Selama beberapa tahun, salah seorang peneliti bernama Dr Mohammed Akram Nadwi, melakukan penelitian jangka panjang dan skala besar untuk menggali biografi ribuan Muslimah yang berpartisipasi dalam tradisi hadis sepanjang sejarah Islam.

Dalam bukunya ‘Al-Muhaddithat: The Women Scholars in Islam’, Nadwi meringkas kamus biografinya yang terdiri dari 40 volume (dalam bahasa Arab) tentang Muslimah yang mempelajari dan mengajar hadis. 

Bahkan, dia menunjukkan peran sentral yang dimiliki perempuan dalam melestarikan ajaran nabi, yang tetap menjadi pedoman utama untuk memahami Alquran sebagai aturan dan norma kehidupan.  

Mereka secara rutin menghadiri dan memberikan kelas di masjid-masjid besar dan madrasah, melakukan perjalanan intensif dalam rangka menebar ‘pengetahuan’, mentransmisikan dan mengkritik hadits, mengeluarkan fatwa (peraturan), dan sebagainya. 

Beberapa cendekiawan laki-laki yang paling terkenal bergantung pada perempuan-perempuan itu, dan memuji beasiswa yang didapatkan perempuan-perempuan itu. Sarjana perempuan memiliki otoritas publik yang cukup besar di masyarakat, bukan sebagai pengecualian, tetapi sebagai norma.  

Sebagai contoh, Aisyah binti Abu Bakar yang tak lain adalah istri Nabi Muhammad SAW, memiliki keterampilan khusus dalam administrasi. Aisyah menjadi sarjana dalam hadits, yurisprudensi, guru, dan orator.

Sebagian besar informasi yang diulas dalam al-Muhaddithat, sangat penting untuk dipelajari dalam memahami peran perempuan dalam masyarakat Islam, prestasi perempuan di masa lalu dan potensi peran perempuan di masa depan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement