REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Pengurus Cabang Istimewa (PCI) NU Belanda Ustaz Ibnu Fikri menyatakan, label santri akan selalu melekat kepada mereka yang pernah belajar di pesantren. Sekali pun berdomisili di luar negeri atau diaspora.
"Ia telah menjadi identitas seseorang yang dianggap memiliki kemampuan untuk menyelesaikan persoalan keagamaan Islam di tengah masyarakat diaspora. Misalnya menjadi Imam, khatib, mengajarkan Alqur’an, dan lainnya," tutur Ustaz Fikri kepada Republika, Kamis, (3/10).
Berdasarkan pengalamannya tinggal di Belanda, kata dia, santri diaspora akan memiliki beberapa tantangan. Dari yang paling sederhana hingga yang cukup berat.
Di antaranya pertama, kemampuan bertahan atau beradaptasi dengan cuaca. Kedua, kemampuan memahami bahasa, budaya, bahkan aturan yang berlaku di masyarakat. Ketiga, kemampuan mengubah pola pikir kolonial terhadap masyarakat Belanda.
"Terkait tantangan pertama, santri akan dihadapkan pada situasi dan kondisi alam yang bertolak belakang dengan kehidupan di negeri sendiri. Setiap tahun, para santri harus bisa beradaptasi dengan cuaca ekstrim, baik saat winter dan summer," jelasnya.
Ustaz Fikri menjelaskan, perubahan cuaca akan berdampak pada durasi waktu beribadah yang tidak stabil. Ketika puasa Ramadhan di musim panas, misalnya, santri harus mampu menahan nafsu hingga berdurasi 20 jam, sahur dari jam 3 malam hingga buka pada jam 11 malam waktu setempat.
"Saya kira, kematangan santri dalam menjalani hidup pihatin di pesantren akan menjadi bekal cukup bertahan hadapi perubahan cuaca," katanya. Lalu terkait tantangan kedua, jika seorang santri sudah menguasai bahasa dan budaya masyarakat setempat, maka lebih mudah menyelesaikan tantangan itu.
"Artinya, memahami budaya mereka bukan berarti mengikuti dan menyetujui. Seorang santri harus mampu mempertahankan identitas santri tanpa harus hanyut ke dalam budaya mereka," tegas Ustaz Fikri.
Selanjutnya mengenai tantangan ketiga, menurutnya penting dipahami oleh para santri diaspora. Pasalnya konstruksi mental orang terjajah telah dibangun sejak lama di Indonesia.
"Kita sering melihat, misalnya, masyarakat kita selalu merasa kagum dan kalah dengan budaya dan masyarakat barat. Padahal jika mau realistis, mereka sendiri juga mengagumi kita masyarakat masyarakat yang cerdas dengan berbagai kelebihan," ujarnya.
Masalahnya, lanjut dia, masih banyak orang Indonesia berpikir kolonial. Hal itu membuat mereka merasa rendah diri, yang secara tidak langsung mengamini konsep ras kulit putih lebih superior dibandingkan ras lainnya.
"Ini harus dihilangkan dari benak para santri. Dari pengalaman yang pernah saya alami, selagi saya mampu melakukan pekerjaan riset yang saya tekuni, saya adalah pemegang otoritas pekerjaan itu. Saya harus berani mengakui saya mampu membangun identitas diri sebagai ahli," tutur Ustaz Fikri.