REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahmed A Khan, seorang penulis fiksi ilmiah dari Kanada, terdapat beberapa ciri sebuah cerita fiksi ilmiah bisa dikategorikan sebagai fiksi ilmiah Islam. Ciri ini diperlukan untuk membedakan sebuah cerita fiksi ilmiah yang bisa disebut fiksi ilmiah Islam atau bukan.
''Sebab, terkadang, ada cerita yang seolah mengadopsi kepercayaan Islam, namun tak bisa dikatakan fiksi ilmiah Islam,'' ungkap Khan. Bahkan, tambahnya, mungkin cerita fiksi ilmiah itu hanya mengadopsi budaya Arab.
Ciri pertama, sebuah cerita fiksi masuk dalam kategori fiksi ilmiah jika cerita tersebut berusaha menjelaskan keberadaan Allah SWT dan tak ada kekuasan lain yang menandingi kekuasan-Nya. Kedua, cerita tersebut mendorong umat manusia melakukan kebajikan universal.
Di sisi lain, cerita tersebut juga mendorong umat manusia mencegah terjadinya kerusakan universal. Ketiga, cerita itu juga memiliki hubungan yang positif dengan aspek praktik-praktik ibadah dalam agama Islam.
Sedangkan, ciri keempat, setiap cerita menonjolkan seorang tokoh Muslim sebagai salah satu karakter utama dan tindakan tokoh Muslim ini dalam mencerminkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang harus dipegang teguh setiap Muslim, seperti tidak minum alkohol.
Ciri kelima, setiap cerita bisa mengambil satu atau lebih bagian dari Alquran atau ajaran-ajaran Nabi Muhammad yang terdapat di dalam hadis dengan cara yang positif. Jika sebuah cerita memiliki ciri-ciri tersebut, sebuah cerita bisa disebut fiksi ilmiah Islam.
Khan menilai, buku fiksi ilmiah yang ia tulis, The Maker Myth, merupakan cerita yang masuk ciri pertama: menonjolkan keesaan Allah SWT. Cerita fiksi ilmiah yang ditulis Mildred Clingerman yang berjudul Minister Without Portfolio juga termasuk cerita fiksi ilmiah Islam.
Sebab, jelas Khan, cerita karya Clingerman tersebut mengusung kebajikan universal. Buku ini bercerita tentang para aliens yang menahan diri untuk segera meluluhlantakkan bumi karena kebaikan hati seorang wanita tua.
Kebaikan hati wanita tua itu menyadarkan para alien bahwa tidak semua manusia di muka bumi jahat hingga membuat alien tak tega menginvasi bumi. Jadi, kata Khan, cerita yang ditulis oleh seorang non-Muslim pun dapat diklasifikasikan sebagai fiksi ilmiah Islam.
Tentu saja jika cerita fiksi ilmiah tersebut memenuhi ciri-ciri fiksi ilmiah Islam. Sebaliknya, walaupun fiksi ilmiah itu ditulis seorang Muslim, namun tak Islami; cerita fiksi tersebut tak dapat dikatakan sebagai fiksi ilmiah Islam.
Meski harus diakui pula, fiksi ilmiah Islam kebanyakan ditulis oleh seorang Muslim karena latar belakang agama dan kehidupannya sebagai umat Muslim.
A Mosque Among the Stars, sebuah antologi yang diedit oleh Ahmed A Khan dan Aurangzeb Ahmad, juga termasuk fiksi ilmiah Islam. Cerita ini masuk dalam ciri ketiga, yaitu memiliki hubungan positif dengan aspek praktik ibadah dalam ajaran Islam.
Buku yang dirilis pada Desember 2008 lalu itu memuat tulisan sejumlah penulis, seperti Luis Shepard, Tom Ligon, Jetse De Vries, Howard Jones, Andrew Ferguson, Ahmed A Khan, Camille Alexa, GW Thomas, Kevin Miller, Pamela Taylor, Casey Wolf, dan DC McMahon.
Menurut Khan, semua tulisan yang ada dalam buku A Mosque Among the Stars seluruhnya masuk dalam ciri cerita fiksi ilmiah Islam. Ia menyebut, cerita fantasi lama berjudul Tilism Hoshruba dari India dan Shahnama dari Iran masuk dalam kategori fiksi ilmiah Islam.
Sebaliknya, Khan menyampaikan pandangan yang mungkin cukup mengejutkan. Ia menyebut bahwa A Thousand and One Nights atau Seribu Satu Malam yang selama ini telah dikenal di kalangan umat Islam dan ditulis oleh Muslim tak tergolong dalam cerita fiksi Islam.
Sebab, perkataan dan perbuatan tokoh dalam buku cerita tersebut tidak mencerminkan nilai-nilai dalam agama Islam. Dalam cerita Aladdin versi Walt Disney, jin digambarkan sebagai sebuah tokoh yang tingkah lakunya sangat konyol dan lucu sehingga membuat semua orang tertawa.
Padahal, Islam sendiri tidak menggambarkan jin sebagai makhluk gaib yang suka berbuat konyol. Sehingga, cerita Aladdin tidak bisa dikategorikan sebagai fiksi ilmiah Islam.