Rabu 18 Sep 2019 05:01 WIB

Benarkah Islam Disebarkan dengan Jalan Perang?

Menulis sejarah tak sekadar mencatat angka, tanggal, tahun dan nama orang.

Suasana perang salib memperebutkan Yerusalem.
Foto: wikipedia
Suasana perang salib memperebutkan Yerusalem.

Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Penulis dan traveler.

Beberapa hari lalu ramai pemberitaan tentang wacana penghapusan materi perang dalam pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam.

Ramainya respons masyarakat membuat Kemenag mengeluarkan klarifikasi seperti yang disampaikan Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan, dan Kesiswaan (KSKK) Madrasah A Umar, yang dirilis beberapa media, Senin (16/09) kemarin.

Intinya Kementerian Agama telah mereview kurikulum mata pelajaran sejarah kebudayaan Islam (SKI). Kedepan, fakta-fakta sejarah Islam yang dipelajari di madrasah akan lebih menonjolkan tonggak sejarah peradaban Islam.

Muncul pertanyaan, benarkah sejarah Islam selama ini lebih banyak menonjolkan unsur perangnya? Bagaimana faktanya?

Saat melakukan riset untuk penulisan buku JOURNEY TO THE GREATEST OTTOMAN, ini adalah salah satu concern terbesar saya.

Seperti diketahui selama lebih dari 4 abad (1447-1871) kekuatan militer Daulah Utsmani adalah yang terbaik di dunia.

Bahkan di periode terbaiknya, seandainya semua negeri yang ada di bumi ini bersatu, kekuatan militer Utsmani setara dengannya.

Tentu, saya ingin menyampaikan fakta sejarah itu. Namun, saya tak ingin mengangkat frame seakan Islam disebarkan dengan jalan perang.

Karena saya paham betul, penyebaran cahaya hidayah tidak melalui pedang. Kalaupun banyak peperangan yang harus dilalui pasukan Muslim, selalu ada latar belakangnya.

Ini penting, karena menulis sejarah tak sekadar mencatat angka, tanggal, tahun dan nama orang. Lebih penting dari itu adalah pemaknaan.

Perang di zaman Rasulullah SAW terjadi sekitar 25-28 kali. Hampir keseluruhannya terjadi karena adanya provokasi atau latar belakang yang diizinkan untuk berperang.

Seperti perang Tabuk yang sejatinya adalah jalan pembuka untuk membebaskan Baitul Maqdis. Saat itu pasukan Muslim telah mendengar kabar bahwa Romawi menyiapkan pasukan perang dalam jumlah besar untuk menyerang negeri-negeri Islam.

Rasulullah SAW lalu memerintahkan pasukannya untuk menghadang pasukan Romawi sebelum berhasil memasuki wilayah-wilayah umat Islam.

Bukti sejarah itu masih terlihat sampai sekarang. Wilayah yang sebelumnya dikuasai Byzantium dan Persia, setelah mendapat cahaya hidayah tetap bertahan dalam Islam sampai berabad kemudian.

Tercatat pemeluk Nasrani di Mesir hanya 9% dari jumlah penduduk, Suriah10%, Irak 3%, dan Libanon 39%. Padahal negeri-negeri itu dulunya bekas wilayah Byzantium dan Persia.

Begitupun pembebasan-pembebasan negeri lainnya. Tak ada motivasi untuk menjajah. Mengeruk kekayaan alam atau memperbudak penduduk setempat.

Itu terlihat jelas saat pasukan Thariq ibn Ziyad berhasil membebaskan semenanjung Iberia. Cahaya hidayah dan ilmu pengetahuan lalu bersinar terang di tanah Eropa, yang waktu itu masih dalam belenggu kegelapan dan kebodohan.

Sama halnya dengan perluasan wilayah Utsmani. Banyak negeri yang datang meminta perlindungan tanpa perlu ditaklukkan dengan membawa pasukan.

Prof DR Raghib as-Sirjani mencatat selama 10 tahun peperangan Rasulullah SAW, para Mujahid yang syahid jumlahnya sekitar 262 (hanya 1% dari seluruh jumlah pasukan).

Dari pihak musuh 1022 (2% dari seluruh jumlah pasukan). Sehingga total korban 1.285 (1,5% dari total seluruh pasukan yang bertempur).

Bandingkan dengan data Perang Dunia II. Jumlah pasukan yang bertempur 15.600.000, jumlah korban 54.800.000 alias 351%. Mengapa sampai meledak sebanyak itu? Karena begitu banyak korban sipil yang berjatuhan.

Di zaman modern, invasi ke Irak yang dilakukan Amerika dan sekutunya telah memakan korban hampir setengah juta jiwa atau setara dengan jumlah penduduk kota Solo.

Invasi di Afghanistan tak kalah masifnya dalam skala jumlah korban. Laporan PBB menyatakan, 3.812 warga sipil Afghanistan terbunuh atau terluka pada enam bulan pertama sejak 2019.

Mengapa jumlah korban saat pasukan Muslim bertempur bisa ditekan? Seperti tulisan Youssef H. Aboul-Enein dan Sherifa Zuhur dalam “Islamic Ruling on Warfare”, bahkan saat berperang pun Islam punya aturan.

Tersebut, Abu Bakar ash-Shiddiq berpesan pada pasukannya, “…Jangan melakukan pengkhianatan dan melenceng dari kebenaran. Jangan memutilasi jasad musuh. Jangan membunuh anak-anak, wanita, dan orang tua. Jangan menebang, merusak, dan membakar pepohonan, terutama yang sedang berbuah. Jangan membunuh hewan ternak musuh.” Aturan yang kemudian diadopsi dalam rules of game peperangan modern.

Tanpa perlu direview pun, konten peperangan dalam sejarah Islam pasti lebih sedikit dari tonggak-tonggak perkembangan peradaban Islam. Karena memang fakta sejarahnya demikian.

Tapi, menjadi salah kalau materi itu tidak diajarkan sama sekali. Seperti yang disampaikan sahabat Saad bin Abi Waqqash RA, “Kami mengajarkan anak-anak kami dengan dua pelajaran utama: Alqur’an dan sirah maghazi Rasulullah SAW.”

Jadi, semua sudah sangat jelas, ya?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement