REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Badan Wakaf Indonesia (BWI), Irwan Agustiawan mengungkapkan, fakta memang menunjukkan bahwa pemahaman tentang perubahan wakaf ini masih sangat kurang di Indonesia.
“Kita juga sedang mendorong pemerintah mulai dari bupati untuk sosialisasikan wakaf. Untuk dari zakat saja, itu penghimpunannya masih kecil sekali. Infaq pun juga demikian, kita belum menjadikan infaq sebagai sebuah kekuatan dalam institusi ekonomi kita,” ungkap Irwan, Selasa (17/9).
Beberapa lembaga mulai melakukan digitalisasi wakaf, dan sudah menghasilkan jumlah wakaf yang cukup besar lalu disalurkan untuk dibangun ke properti untuk kepentingan ummat. Bahkan ada juga yang membangun minimarket dan menyiapkan kendaraan transportasi.
“Beberapa nazhir yang ada di antara 128 nazhir yang terdaftar di BWI, memang sebagian besar berinvestasi komersial. Tapi ada juga yang membangun rumah sakit, minimarket, transportasi. Lalu ada juga wakaf pohon oleh Al-Azhar,” kata Irwan lagi.
Indonesia diharapkan dapat memobilisasi wakaf seperti negara-negara Islam lainnya, dimana wakaf secara produktif dikelola melalui upaya komersil. Profit dari investasi inilah yang kemudian dialokasikan untuk keperluan sosial.
Bahkan dahulu, sejumlah pemerintahan Islam merumuskan kebijakan mereka. Misalnya, khalifah Fatimiyah mengembangkan Al-Azhar hingga lembaga pendidikan itu mampu berkontribusi pada kegemilangan peradaban Islam. Sebab, lembaga tersebut berhasil mencetak kaum cendekia. Semua bermula pada wakaf.
Pemerintahan Ottoman atau Turki Utsmani menempuh langkah yang hampir sama. Mereka menata pengelolaan wakaf untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakatnya. Pemerintah membentuk badan wakaf yang mengurusi pengumpulan dan pengelolaan wakaf. Salah satunya di Kota Bursa.