REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA —— Lahir dan berkembangnya studi matematika di wilayah Maghrib sangat dipengaruhi perkembangan keilmuan di Andalusia.
''Secara ekonomi, politik dan budaya Spanyol Muslim dan Maghrib pada abad pertengahan memiliki keterikatan dan kedekatan,'' papar ilmuwan yang berkiprah di Laboratoire Paul Painlev, Prancis itu. Terlebih, Muslim Spanyol dan Maghrib memiliki keterkaitan tradisi keilmuan.
Meski secara sosial dan budaya Spanyol Muslim dan Maghrib berbeda, namun keduanya direkatkan oleh akidah yang mereka anut yakni Islam. Sejarawan abad ke-11, Said Al-Andalus, memaparkan pada awal Islam masuk ke Spanyol, penduduk negeri itu sama sekali tak tertarik pada sebuah ilmu. Minat masyarakat Spanyol Muslim terhadap keilmuwan mulai tumbuh ketika Dinasti Umayyah berdiri secara independen di negeri Matador itu.
Perkembangan dan ghirah (semangat) keilmuwan di Spanyol Muslim itu perlahan namun pasti lalu merambat ke wilayah Maghrib. Studi matematika mulai digandrungi masyarakat Muslim di Afrika Utara sejak abad ke-9 M. Pusat studi matematika pertama terdapat di Ifriqiyan atau lebih tepatnya lagi di Kairouan. Pada era itu geliat studi matematika memang masih terbatas di wilayah itu.
Ajaran Islam mulai bersemi di wilayah Maghrib - Afrika Utara - pada tahun 642 M. Setelah melalui berbagai ekspedisi penaklukan, seluruh wilayah Maghrib yang meliputi Aljazair, Mesir, Libya, Maroko, Sudan, Tunisia akhirnya berhasil dikuasai Islam pada awal abad ke-8 M. Sejak itulah, di wilayah Maghrib mulai menggeliat aktivitas intelektualitas, salah satunya adalah studi matematika.
Geliat studi matematika yang berkembang di era keemasan Islam di Afrika Utara ternyata hingga kini masih berlangsung. Matematika menjadi salah satu ilmu yang digemari masyarakat Afrika Utara. Saat ini, tercatat terdapat 2.000 doktor matematika yang tersebar di Afrika Utara. Sedangkan di Selatan Sahara terdapat 1.000 matematikus bergelar doktor.