REPUBLIKA.CO.ID, KUNINGAN – Sosok KH Amin dari Desa Karangtawang begitu disegani masyarakat Kuningan, Jawa Barat. Ulama dengan nama lengkap KH Muhammad Aminudin itu dikenal sebagai ulama yang bersahaja dan ahli dalam ilmu hikmah. Kiai Amin adalah putra kedua dari KH Ahmad Syadili.
Kiai Amin juga masih memiliki garis keturunan pada Eyang Hasan Maolani seorang ulama besar di Kuningan abad ke-18. Dia lahir pada 1 Maret 1933.
Sejak kecil, Kiai Amin sudah berkelana menimba ilmu agama dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Setelah sekian lama mengaji, Kiai Amin kembali ke kampung halamannya di Desa Karangtawang.
Di sebuah surau peninggalan ayahnya, Kiai Amin memulai berdakwah mengajarkan mengaji masyarakat sekitar. Menurut putra Kiai Amin, KH Ence, konon saat masa awal Kiai Amin mensyiarkan Islam bukan tanpa hambatan.
Ketokohannya sebagai ulama sekaligus pernah aktif di Gerakan Pemuda Ansor, sempat membuatnya jadi incaran kelompok Partai Komunis Indonesia (PKI).
Kendati demikian, Kiai Amin selalu dapat menyelamatkan diri dengan berpindah-pindah tempat.“Beliau itu punya ghiroh mengembangkan agama walaupun berhadapan dengan PKI. Saat diburu PKI, beliau sering berpindah-pindah tempat,” kata Kiai Ence saat berbincang dengan Republika,co.id pada Kamis (12/9).
Kiai Amin dikenal wara dan sangat dekat dengan masyarakat. Dia sering berjalan kaki dari satu desa ke desa lainnya untuk berdakwah. Keahliannya menguasai ilmu hikmah membuat masyarakat sering berdatangan ke rumah Kiai Amin untuk meminta didoakan.
Selain mengajar santri, Kiai Amin juga seorang guru agama di lembaga pendidikan formal di Kuningan. “Beliau memang ahli hikmah, sering masyarakat datang meminta didoakan,” tutur dia.
Tetapi, ujar dia, beliau menjaga jarak dengan kekuasan, dengan pemerintah, meskipun beliau adalah guru. "Dalam berdakwah beliau menyampaikan dengan hikmah dan nasehatbaik sehingga beliau lebih kental dekat dengan masyarakat kecil,” kata dia.
Pada 1995 Kiai Amin mulai membangun sebuah pesantren yang kemudian diberi nama Pondok Pesantren Al Amin. Meski beberapa kali pasang surut jumlah santri, namun Kiai Amin tetap bersemangat mengajar.
Dibantu putranya, Pesantren pun mengalami perkembangan. Kini pesantren telah membuka lembaga pendidikan tingkat Paud dan Raudhatul Athfal. Saat ini, jumlah santri Ponpes Al Amin sebanyak 72 santri.
Selain mondok, para santri Ponpes Al Amin juga mengikuti pendidikan formal di beberapa sekolah baik tingkat SD, SMP maupun Aliyah yang berada di luar pesantren. Pada 8 Maret 2004, Kiai Amin wafat. Dia dimakamkan di lingkungan pesantren tepat di samping istrinya yakni Hj Enung yang wafat pada 2010.