Selasa 27 Aug 2019 22:00 WIB

Cara Ponpes Wasiatul Ulama Menghidupkan Kampung Grenjeng

Pesantren Wasiatul Ulama dulunya merupakan tempat KH Lazimuttaqwa berdakwah.

Rep: Andrian Saputra/ Red: Agung Sasongko
Santri
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Santri

REPUBLIKA.CO.ID, CIREBON --- Aktivitas keagamaan di kampung Grenjeng di Kelurahan Harjamukti, Cirebon kembali hidup terutama setelah KH Ja’far Amier mendirikan pesantren Wasiatul Ulama. Selain mengajarkan para santri yang datang dari berbagai daerah, Kiai Ja’far Amier pun mengajak serta warga kampung Grenjeng untuk menghidupkan kampung dengan kegiatan agama. Satu diantaranya yakni dengan manakib yang dilaksanakan sepekan sekali.

“Sebagai generasi penerus yang dipercaya pun kami mempertahankannya, untuk bermasyarakat juga,” kata Pengasuh ponpes Wasiatul Ulama, KH Ahmad Fauzan saat berbincang dengan Republika,co.id pada Selasa (27/8).

Baca Juga

Selain manakib, jelas Kiai Amier saban malam Senin Pesantren Wasiatul Ulama juga rutin menggelar ratibul Hadad yang diikuti Santri dan masyarakat sekitar. Pesantren Wasiatul Ulama juga kerap mengadakan santunan bagi yatim piatu dan warga kurang mampu. Dengan cara itulah Pesantren Wasiatul Ulama berupaya mempertahankan kampung Grenjeng agar terus hidup dengan aktivitas keagamaan.

“Selain pengajian juga saat Ramadhan dan hari-hari besar Islam kita libatkan masyarakat,” katanya.

Pesantren Wasiatul Ulama dulunya merupakan tempat KH Lazimuttaqwa seorang ulama abad 19 yang mensyiarkan Islam di kampung Grenjeng. Namun setelah wafatnya KH Lazimuttaqwa, aktivitas keagamaan di kampung itu pun meredup.

Para santri yang tadinya banyak mengaji di kampung itu perlahan-lahan berkurang. Pada 1986, Kiai Ja’far yang juga merupakan cicit Kiai Lazimuttaqwa memutuskan untuk pindah dari Kedung Jumbleng ke Grenjeng untuk mulai berdakwah.

Mulanya, Kiai Ja’far yang juga menganut Tarekat Qadariyah Syattariyah mengawali dakwahnya dengan membuka sebuah majelis manakib pada sekitar 1986. Majelis itu pun semakin hari kian ramai diikuti masyarakat sekitar.

Pada tahun yang sama, Kiai Ja’far pun mulai memperbaiki mushola yang sudah tak terawat yang dibuat KH Lazimuttaqwa. Baru pada tahun 1990, ia mendirikan Pondok Pesantren Wasiatul Ulama.

“Dulu itu hanya rumah dan majelis saja, nama masjid dulu masih Lazimuttaqwa mengambil nama buyut. Lalu setelah ada pesantren karena beliau menjalankan amanat ulama beliau menamai Wasiatul Ulama,” kata Kiai Fauzan yang juga putra Kiai Ja’far.

Menurut Kiai Fauzan, ayahnya itu berasal dari Kedung Jumbleng. Kiai Ja’far lahir pada 1928. Sejak kecil, Kiai Ja’far telah digembleng pendidikan agama dari ayahnya yakni Raden Amir dan kakeknya yakni Raden Mudjati di Pesantren Ciwaringin. Kiai Ja’far juga menimba ilmu di Pesantren Kempek dan Benda Kerep.

Semasa hidupnya Kiai Ja'far dikenal sebagai ulama tasawuf. Kiai Ja'far kerap mengajarkan santri-santri untuk senantiasa membersihkan diri dengan berzikir agar lebih dekat pada Allah SWT. Kiai Ja'far juga turut berjuang melawan kolonial Belanda. Ia turun ke Medan pertempuran di Subang, Jawa Barat. Ia juga menjadi motor penggerak umat muslim di Cirebon untuk merebut kemerdekaan.

Dibawah kepemimpinan Kiai Ja'far, pesantren Wasiatul Ulama terutama perkampungan Grenjeng bangkit kembali. Kini terdapat 150 santri yang menimba ilmu di pondok itu. Sebagai pesantren salaf, santri Ponpes Wasiatul Ulama diajarkan berbagai literatur keislaman. Kendati demikian, menurut KH Fauzan pesantren begitu menekankan santrinya untuk mempelajari kitab-kitab akhlak dan tasawuf.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement