REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Mbah Manab merupakan sosok ulama yang banyak melahirkan santri pejuang kemerdekaan. Keberadaan Pondok Pesantren Lirboyo mempunyai andil mempertahankan kemerdekaan. Santri-santri Mbah Manab ikut berjuang bersama arekarek Suroboyo pada pertempuran 10 November 1945 yang kini diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Tim penulis buku Sejarah Pesantren Lirboyo, M Haromain, menjelaskan, santri Lirboyo saat itu menuju Surabaya dengan mengendarai truk dan hanya bersenjata sederhana. Di bawah komando KH Mahrus Aly, mereka memiliki spirit untuk menghadapi pasukan sekutu yang kian hari makin mengganggu stabilitas keamanan Indonesia yang sudah merdeka.
Nama-nama santri Lirboyo yang berangkat ke Surabaya, antara lain, Syafi'i Su laiman, Agus Jamaludin, Masyhari, Ridlwan, Baidhowi, dan Damiri. Keenam santri tersebut berasal dari Kediri. Selain itu, ada juga santri bernama Abu Na'im Mukhtar dari Salatiga, Khudhari dari Nganjuk, Sujairi dari Singapura, Zainudin Blitar, Jawahir Jember, Agus Suyuti Rembang, dan masih banyak lagi santri lainnya.
Pengiriman pertama ini berjumlah 97 santri. Setelah tiba di Surabaya, kemudian me reka bergabung dengan Laskar Hizbullah. Dalam perang tersebut, rombongan santri Lirboyo berhasil merebut sembilan pucuk senjata dari pasukan musuh. Semuanya dapat kembali dalam keadaan selamat.
Keberhasilan ini tentu tak lepas pula dari restu dan doa Mbah Manab dan menantunya, KH Marzuki Dahlan. Keduanya bahkan selalu memberikan dukungan batin dan spiritual dari pesantren Lirboyo. Keduanya bahkan berdoa bukan hanya untuk santri Lirboyo, melainkan untuk para pejuang bangsa secara umum.
Sebelum pertempuran Surabaya meletus, tepatnya setelah Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 agustus 1945, perjuangan para santri Lirboyo mulai bergelora.
Tak lama setelah proklamasi kemerdekaan dibacakan, Mayor Mahfud yang merupakan mantan Sudanco PETA di daerah Kediri menyampaikan berita gembira kemerdekaan itu kepada KH Mahrus Aly, dilanjutkan dengan pertemuan para santri di serambi Masjid Pondok Pesantren Lirboyo.
Di sana diumumkan bahwa rakyat Indo nesia yang telah sekian abad lamanya dijajah sekarang telah resmi merdeka. Santri Lirboyo dalam kesempatan yang sama itu sepakat melucuti senjata Jepang di Markas Kompitai Dai Nippon di Kediri (kini Markas Brigif 16 Kodam V Brawijaya) yang letaknya sekitar 1,5 kilometer dari arah timur Pondok Pesantren Lirboyo.
Pada malam hari, dengan peralatan seadanya, berangkatlah 440 santri mengadakan pernyerbuan di bawah komando Kiai Mahrus Aly, Mayor Mahfudh, dan Abdul Rakhim Pratalikrama. Santri yang masih berusia 15 tahun itu, Syafii Sulaiman kemudian diutus oleh Kiai Mahrus untuk menyusup ke markas Dai Nippon guna mempelajari keadaan dan memantau kekuatan lawan. Setelah penyelidikan dirasa cukup, Syafii segera melapor kepada Kiai Mahrus dan Mayor Mahfudh.
Invasi para santri itu berhasil. Kemudian, satu truk senjata hasil lucutan Jepang itu dibawa ke Pondok Lirboyo dan setelahnya diserahkan kepada Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang hingga kini (saat buku disusunRed) masih tersimpan di Markas Brawijaya Kediri.