Sabtu 07 Sep 2019 05:05 WIB

15 Kota di Dunia Islam dalam Catatan Jurnalis Inggris

Buku yang memuat 464 halaman itu memulai dengan tulisan pada masa awal Islam

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Agung Sasongko
Ilustrasi kota melingkar Baghdad di abad ke-10.
Foto: ist
Ilustrasi kota melingkar Baghdad di abad ke-10.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jurnalis Inggris Justin Marozzi menulis sebuah buku yang mengupas tentang sejarah dari 15 kota-kota Arab sepanjang 15 abad kejayaan Islam. Melalui bukunya berjudul Islamic Empires: Fifteen Cities that Define a Civilisation (Kerajaan Islam: 15 Kota yang Mendefinisikan Peradaban), Marozzi menulis kronik tentang kota-kota Islam di saat-saat kejayaan terbesar mereka. Di sini, penulis ingin mengupas kembali sejarah tentang kota-kota di Timur Tengah dan dunia Muslim di masa kejayaannya dibanding melihat sisi masa kini dari kota-kota tersebut. 

Sebagai seorang jurnalis, dia telah mengunjungi hampir semua kota-kota yang ia gambarkan. Marozzi telah melihat kota-kota besar di masa paling kejam. Dalam perjalanannya mengumbulkan bahan tulisan itu, ia pernah tinggal di Kabul, Afghanistan, pada puncak kekuasaan Taliban pada 1996. Selanjutnya, ia juga pernah menjajaki Mogadishu selama 18 bulan ketika Al Shahab menjadi ancaman. Marozzi kemudian ke Tripoli, termpat buku terbarunya itu disusun. 

Di dalam bukunya itu, ia memilih kota-kota selama era paling penting, di antaranya Baghdad di abad ke-9, Kairo di abad ke-12, Konstantinopel di abad ke-15, Isfahan di abad ke-17, dan berakhir dengan Doha di abad ke-21. 

Buku yang memuat 464 halaman itu memulai dengan tulisan pada masa awal Islam, dengan kisah kebangkitan Makkah dalam bab berjudul "The Mother of Cities". Marozzi kemudian melangkah jauh dengan menceritakan selama 14 abad berikutnya, dengan melihat brio di permukiman penting lainnya di dunia Islam. 

Untuk abad ke-20, ia memilih untuk mengupas tentang perkembangan Dubai. Dilansir di The National, Kamis (5/9), tulisan tentang DUbai ini dinilai sebagai bab yang merangkum tulisan terbaik dari buku tersebut. Dikatakan, bahwa babini menyediakan campuran kaya dari detail sejarah, deskripsi penuh warna dan wawasan tangan pertama dari kecintaannya sendiri pada perjalanan dan mewawancarai penduduk tempat yang ia tulis. 

Bab ini dibuka dengan kutipan dari mantan penguasa Dubai, Sheikh Rashid, "Apa yang baik untuk pada pedagang itu baik untuk Dubai." Sementara itu, bab ini meneliti asal-usul kekayaan kota Dubai dalam penangkapan ikan mutiara. Halaman ini mengklaim menemukan referensi untuk perdagangan di milenium ketiga Sebelum Masehi Epic di Gilgamesh, di mana seorang pahlawan Mesopotamia menyelam ke laut untuk menemukan bunga keabadian. 

Penyebutan pertama Dubai itu sendiri dalam literatur Barat dilacak hingga 1590, ketika Venetian Gasparo Balbi menyebutkan pemukiman di Viaggio dell'Indie Orientali. Penulis juga menggali gambar Dubai pada tahun 1882 oleh Letnan Cogan dari East India Company, yang terdiri dari sekelompok 25 rumah yang tersebar di pantai Teluk Arab.

Perkembangan Dubai yang cepat dengan pengerukan Dubai Creek dan pembangunan bandara kota ini merupakan jantung dari bab tersebut. Tulisan itu menceritakan akan semangat kewirausahaan yang luar biasa yang menempatkan Dubai pada peta seperti saat ini bergantung pada sikap kepemimpinan, yaitu dari sikap Sheikh Rashid sendiri. 

Dalam buku itu, Marozzi berbicara dengan Ammar Shams, seorang pensiunan bankir Uni Emirat Arab (UEA), yang mengingat skala tantangan dalam meningkatkan jumlah yang setara dengan 15 juta dolar (55 juta dirham) dalam uang hari ini untuk memperdalam saluran air di Creek, meluncurkan apa yang menjadi pusat maritim global.

"Mengeruk Sungai adalah pertaruhan besar pertama di tahun 1950an. Itu akan menghancurkan Dubai jika itu tidak datang dengan hasil baik. Dia bertaruh pertanian di atasnya," kata Shams. 

Dalam buku itu juga diceritakan tentang Damaskus atau yang disebut "The Perfumed Paradise". Di sana pada abad ke-8 Khalifah Al Walid menyatakan kepada orang-orang bahwa kota itu memiliki empat atribut besar, yakni iklim, air, buah-buahan dan pemandian, yang akan menambah masjid besar sebagai yang kelima. Hasil dari ucapan itu adalah Masjid Umayyah. 

Selain itu, Marozzi dalam bukunya mengungkap tentang Umayyah di Suriah sebagai salah satu contoh hebat dari kota-kota yang mengesankan dalam sejarah dunia Islam selama 15 abad. Kenyataannya saat ini, Suriah justru terkoyak dengan perang sipil yang tengah berlangsung. 

Salah satu potret terbaik dalam buku ini adalah Baghdad, kota Abbasiyah abad ke-9. Marozzi mengutip dari Muqqaasi, yang menulis tentang "kota kesejahteraan". Dalam bukunya, Marozzi juga mengulas beberapa bab tentang di Cordoba, ibukota Al Andalus, kemudian Yerusalem selama Perang Salib pertama, dan Kairo ketika Saladin membangun benteng. Di sini, penulis menunjukkan kekagumannya terhadap Sultan Mehmed II yang berusia 21 tahun dan strategi militer yang berani. Dikisahkan, bahwa Sultan Mehmed II akhirnya mampu menembus tembok Romawi Konstantinopel untuk merebut kota itu untuk Islam. Lebih dekat dengan zaman kini, Marozzi juga melihat Tripoli di abad ke-18 saat bergeser dari orbit Utsmaniyah.

Ketika ia mengalihkan perhatiannya pada pertumbuhan Lebanon saat pemerintahan Ottoman berkuasa, kisah berubah secara pribadi. Ternyata, ayah Morazzi lahir di Lebanon pada 1938, namun tidak benar-benar tumbuh di sana. 

Adapun jika saat ini di kota-kota tersebut membawa jauh dari Kerajaan Islam, Marozzi mengatakan itu adalah keteguhan dari apa yang membuat kota Islam paling sukses, yakni dari Dubai saat ini dan kembali ke masa paling awal. 

"Tema yang keluar adalah kosmopolitanisme dan toleransi. Dubai, misalnya, menggemakan kesuksesan kota-kota lain pada titik tertinggi mereka. Di mana mereka paling sukses, ada populasi campuran, keterbukaan terhadap pembelajaran yang hebat, toleransi, kepemimpinan yang berorientasi ke luar dan inovasi. Itu bahannya," kata Marozzi. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement