Selasa 03 Sep 2019 06:00 WIB

Rumah Adat Panjalin, Saksi Bisu Islamisasi Majalengka

Rumah adat Panjalin banyak dikunjungi para wali.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Nashih Nashrullah
Rumah adat Panjalin di desa Panjalin Kidul, Kecamatan Sumberjaya, Majalengka yang dibangun pada abad ke-14.
Foto: Republika/Andrian
Rumah adat Panjalin di desa Panjalin Kidul, Kecamatan Sumberjaya, Majalengka yang dibangun pada abad ke-14.

REPUBLIKA.CO.ID, MAJALENGKA – Rumah adat Panjalin merupakan salah satu bangunan bersejarah di Kabupaten Majalengka. Rumah ini telah tercatat sebagai bangunan yang dilindungi dibawah Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Banten. 

Dari penelitian yang telah dilakukan sejak 1980-an, rumah adat ini telah dibangun pada abad ke-14 atau saat masa penyebaran Islam di Cirebon oleh Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah.  

Baca Juga

Senin (2/9), Republika,co.id mengunjungi rumah adat Panjalin yang lokasinya berada di desa Panjalin Kidul, Kecamatan Sumberjaya, Majalengka. Rumah adat Panjalin merupakan rumah panggung yang seluruh struktur bangunan menggunakan kayu jati.   

Rumah ini memiliki 16 tiang penyangga, dua pintu, dan tiga jendela udara kayu. Bagian dalam rumah adat Panjalin ini terbagi menjadi dua ruang yakni ruang tamu dan ruang utama. Di atas pintu masuk, terdapat ukiran-ukiran hias yang mengkombinasikan gaya ukiran Mataram, Cirebon dan Padjajaran.   

“Kalau melihat hasil penelitian ini dibangun pada zaman wali yaitu Syekh Syarif Hidayatullah. Rumah Panjalin ini menjadi saksi bisu dari penyebaran Islam di wilayah ini,” kata juru pelihara rumah adat Panjalin, I Ang Saeful Ikhsan.

Rumah adat Panjalin tak bisa terlepas dari kisah tokoh-tokoh penyebar Islam di Panjalin pada abad ke-14. Menurut I Ang, saat itu Sunan Gunung Jati memerintahkan Syekh Syahroni atau disebut warga Panjalin sebagai pangeran atas angin untuk menyebarkan Islam ke Barat Pulau Jawa salah satunya yakni mengajak penguasa di Rajagaluh untuk memeluk Islam.

Syekh Syahroni kemudian bertemu dengan utusan Mataram yakni Nyi Larasati. Keduanya pun menikah dan memilih tinggal di sebuah hutan yang penuh dengan pohon rotan. Syekh Syahroni pun dikaruniai putri yakni Seruni. Di wilayah itulah Syekh Syahroni mensyiarkan Islam. 

Setelah dewasa, Seruni bertemu dengan Raden Sanata seorang santri dari Pager Gunung yang juga masih keturunan darah biru dari kerajaan Talaga. Raden Sanata pun kemudian berusaha meminang Seruni, kendati demikian Syekh Syahroni memberikan syarat agar Raden Sanata mampu membabat hutan rotan yang sangat luas.  

Raden Sanata pun akhirnya dapat membabat hutan rotan itu dan mendirikan sebuah rumah panggung untuk memenuhi syarat Syekh Syahroni. Rumah itulah yang menjadi rumah adat Panjalin. Setelah menikahi Seruni, Raden Sanata pun banyak belajar pada Sykeh Syahroni. Di tempat itu pula, Raden Sanata mensyiarkan Islam terlebih setelah banyak orang yang membuka pemukiman di wilayah itu. 

“Nama Panjalin itu dari sebutan orang Cirebon yang menyebut rotan dengan Panjalin. Dulu di sebelah utara juga ada pesantren Lontang Jaya, KH Amin Sepuh Ciwaringin dan KH Abdul Halim juga santri dari sana dan di Selatan ada juga Ki Dul Mu'in juga menyebarkan Islam,” katanya. 

Rumah adat Panjalin telah mengalami beberapa kali perbaikan, diantaranya yakni pada 1996 dan 2009. Kendati demikian, keasliannya masih tetap terjaga.

 Di rumah adat itu juga terdapat sejumlah benda-benda pusaka peninggalan para keturunan Raden Sanata yang pernah menempati rumah itu. Diantaranya seperti keris, tombak, kujang, serta perkakas lainnya. Andrian Saputra

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement