Sabtu 31 Aug 2019 03:03 WIB

Wahai Ayahku

Sejatinya, sapaan "wahai ayahku" menggambarkan kedekatan, keterbukaan, dan komunikasi

Ayah dan anak
Foto: corbis
Ayah dan anak

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hasan Basri Tanjung

Dikisahkan bahwa suatu hari Lukman al-Hakim--sosok ayah teladan yang diabadikan menjadi nama surah Alquran--ditanya oleh anaknya. "Wahai ayahku, perkara apakah yang paling baik pada manusia?" Lukman menjawab, "Agama." Ia bertanya lagi, "Jika ada dua hal?". "Agama dan harta," jawabnya. "Jika ada tiga hal?" tanyanya lagi. "Agama, harta, dan sifat malu." "Jika ada empat hal?" lanjutnya. "Agama, harta, sifat malu, dan akhlak yang baik." "Jika ada lima hal?" Lukman menjawab, "Agama, harta, sifat malu, akhlak yang baik, dan dermawan."

"Jika ada enam hal?" Lukman pun menegaskan, "Wahai anakku, jika lima perkara ini sudah berkumpul pada diri seseorang, ia termasuk orang yang bertakwa dan kekasih Allah." (Adil Al-Ghiryani, Hikmah Luqman Al-Hakim, 2015). Ketika mendengar ungkapan "yaa abati" (wahai ayahku), terbayang suasana yang akrab dalam sebuah keluarga.

Bagaimana tidak, seorang anak yang beradab tengah menyapa atau bertanya kepada ayahnya dengan bahasa yang santun (QS 17:23). Sama halnya, ketika mendengar seorang ayah menyapa anaknya dengan lembut, "yaa bunayya" (wahai anakku). Manakala sapaan yang hangat, misal ini terucap dengan tulus maka akan terjalin kedekatan dan penuh kasih sayang.

 

Ungkapan ini pula yang membuat pikiran penulis melayang sejenak ke negeri Para Nabi, tempat Ananda Ihza Aulia sedang menuntut ilmu dan adab.

Menelusuri fitur "Qur`an Kemenag", paling tidak sapaan "yaa abati" dijumpai dalam enam ayat. Dua ayat mengisahkan Nabi Yusuf AS ketika mengutarakan mimpi kepada ayahnya Nabi Yakub AS, yakni melihat 11 bintang, matahari dan bulan bersujud kepadanya (QS 12: 4,100).

Empat ayat berikutnya menceritakan dialog antara Nabi Ibrahim AS dan ayahnya Azar, supaya menyembah Allah dan meninggalkan berhala (QS 19: 42-45). Satu ayat tentang putri Nabi Suaib AS yang menaruh hati kepada Nabi Musa AS (QS 28:26), dan satu lagi tentang kisah Nabi Ismail AS ketika hen dak dikorbankan oleh ayahnya, Nabi Ibrahim AS. (QS 37:102).

Sejatinya, sapaan "wahai ayahku" menggambarkan kedekatan, keterbukaan, dan komunikasi yang efektif antara orang tua (guru) dan anak (murid) dalam pendidikan keluarga. Pada aspek konten, sapaan tersebut berisi curahan atau ekspresi hati. Ada pula yang berbentuk pertanyaan, ajakan, larangan, dan teguran. Juga, menunjukkan permohonan yang tulus dan kepatuhan terhadap orang tua.

Kata, sikap, dan perilaku yang baik tersebut adalah bentuk pendidikan adab yang diajarkan Alquran melalui sosok yang mulia. Tiada lain kecuali menjadi uswah (model keteladanan) bagi kita untuk menguatkan pendidikan karakter dalam keluarga.

Sejujurnya, apakah kita sudah mampu membangun suasana pembelajaran yang kondusif dalam keluarga seperti Lukman al-Hakim? Boleh jadi, ketika anak-anak mencurahkan perasaan atau bertanya, kita sering kali abai atau mengelak dengan bermacam alasan.

Sekiranya kita mampu menjawab satu pertanyaan, lalu mereka bertanya lagi, apakah kita masih menanggapinya dengan nada dan diksi yang baik? Atau, saat tak mampu menjawabnya, apakah kita jujur mengakui atau berapologi? Ketulusan orang tua menyapa, "wahai anakku", akan disambut hangat oleh anak dengan "wahai ayahku", atau ungkapan semisalnya. Kebahagiaan yang paling besar bagi orang tua adalah kehadiran anak yang beradab.

Jika demikian, pesan Nabi SAW mesti direnung menda lam. "Tiada hadiah terbaik dari seorang ayah kepada anak nya, melainkan adab yang baik," (HR Ahmad). Allahua'lam bish-shawab. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement