Jumat 30 Aug 2019 13:44 WIB

Muhammadiyah: Tahun Baru Islam Momen untuk Muhasabah

Standar ukuran melakukan muhasabah adalah kadar ketakwaan diri.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Ani Nursalikah
Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Yunahar Ilyas
Foto: Republika TV/Muhammad Rizki Triyana
Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Yunahar Ilyas

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menyampaikan Tahun Baru Islam 1441 Hijriyah sebagaimana tahun baru sebelumnya menjadi momen melakukan muhasabah atau evaluasi. Standar ukuran melakukan evaluasi adalah takwa, jadi yang paling utama harus dievaluasi adalah kadar ketakwaan diri selama satu tahun.

"Yang harus dievaluasi yang pertama adalah iman, apakah tahun ini kita melakukan kemusyrikan atau tidak, kedua evaluasi ibadah kita apakah sudah tertib dan sesuai dengan sunah Rasul atau belum," kata Ketua PP Muhammadiyah, Prof Yunahar Ilyas kepada Republika.co.id, Jumat (30/8).  

Baca Juga

Yunahar menyampaikan, Tahun Baru Islam juga menjadi momen melakukan evaluasi akhlak, renungkan apakah sudah memiliki akhlak mulia dan terpuji atau belum. Serta menjadi momen untuk evaluasi muamalat, renungkan apakah sudah melakukan muamalat yang tidak melanggar syariat Islam atau masih memakan riba.

Jadi yang harus dievaluasi pada diri setiap Muslim di momen Tahun Baru Islam di antaranya iman, ibadah, akhlak dan muamalat. Menurut Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu, tahun baru Islam juga bisa jadi momen melakukan evaluasi organisasi.

"Caranya dengan melihat perjalanan organisasi selama satu tahun ke belakang, hal-hal yang baik dipertahankan, yang kurang ditingkatkan," ujarnya.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, menurut dia, juga bisa dievaluasi di momen Tahun Baru Islam ini. Lihat satu tahun ke belakang bagaimana perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dia menilai evaluasi sangat diperlukan apalagi setelah pemilihan presiden dan pemilihan legislatif.

Muhammadiyah juga mengingatkan umat agar melakukan evaluasi dalam beragama. Yunahar mengatakan, umat sebaiknya beragama dengan lebih substantif, tidak hanya yang bersifat artificial. Artinya beragama jangan hanya sebatas kulitnya atau sebatas pakaian.

"Ada (orang) yang kalau sudah pakai pakaian Islam sudah merasa sangat Muslim, tapi itu (beragama) harus lebih substantif sampai kepada nilai-nilai, seperti nilai kejujuran, keadilan, kesetaraan, kebersihan, akhlak kita di ruang publik betul-betul menunjukan kita Muslim," ujarnya.

Ia mengingatkan, keshalehan individual dan keshalehan sosial harus digabungkan. Kalau ada orang yang rajin melaksanakan shalat dan puasa, maka harus baik dalam bermasyarakat dan memperhatikan kaum dhuafa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement