REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Suprianto
Pada mulanya, tahun baru Hijriyah diperingati sebagai penanda peristiwa hijrah secara geografis yang dilakukan Rasulullah SAW dan para sahabat untuk menyelamatkan akidah mereka. Peristiwa itu menandakan dimulainya tatanan Islam yang membawa umatnya menuju masyarakat madani berasaskan keadilan dan kesetaraan.
Salah satu makna penting hijrah adalah proses transformasi dari jahiliyah (kegelapan) menuju peradaban yang sepenuhnya tercerahkan. Dalam konteks kebangsaan, hijrah bisa dimaknai sebagai transformasi menuju peningkatan kesejahteraan seluruh elemen masyarakat. Mengingat konteks ini, negara tidak memiliki tujuan dan agenda lain kecuali mengupayakan kualitas penghidupan yang layak bagi seluruh warganya.
Pergantian tahun baru Islam pada 1 September mendatang, selayaknya dijadikan momentum untuk bangkit dari keterpurukan menuju kejayaan. Memang, tidak gampang bangkit dari keterpurukan yang sudah mengakar.
Dari realitas politik, ekonomi, dan sosial keagamaan yang tidak begitu menggembirakan, kontekstualisasi hijrah harus berpijak pada kondisi yang menjadi problem kita sekarang. Persoalan korupsi yang menggurita, kemiskinan merajalela, serta krisis yang telah mendorong bangsa ini menuju kubangan krisis multidimensional, harus menjadi agenda hijrah kita bersama.
Nabi semasa hijrah hanya memiliki sumber daya terbatas untuk memberdayakan masyarakatnya di Madinah, baik secara finansial maupun manajerial. Bahkan, hampir tidak memiliki potensi apa pun yang bisa diolah dan dikembangkan untuk membangun masyarakatnya. Tetapi, Rasulullah SAW justru mampu memperlihatkan hal sebaliknya. Beliau membuktikan, pemimpin yang berlandaskan komitmen yang besar untuk mengadakan perubahan disertai keteladanan, dedikasi, totalitas, serta integritas, akan selalu mampu mengatasi tiap permasalahan.
Becermin kepada Nabi dalam menjalankan strategi dakwahnya itu, rasanya terlalu naif mengatakan bahwa nasib pemimpin dan bangsanya bergantung pada semata-mata keberuntungan. Dalam Alquran surat Ar-Ra’du [13] ayat 11 telah ditegaskan, ‘’Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum tanpa dia sendiri mengubah nasibnya.’‘ Ayat ini memberi otoritas kepada segenap manusia untuk berusaha sekuat tenaga dan pikiran, mengerahkan segala potensinya demi kehidupan yang lebih baik. Bukan semata-mata berharap dan hanya bergantung terhadap ‘kekuatan lain’ dalam menjalani hidup.