Rabu 28 Aug 2019 08:30 WIB

Seni Kuliner dalam Peradaban Islam

Seni kuliner ini berkembang seiring revolusi pertanian di Dunia Islam.

Rep: Islam Digest Republika/ Red: Agung Sasongko
Ilustrasi Peradaban Islam
Foto: Foto : MgRol112
Ilustrasi Peradaban Islam

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di era keemasannya, umat Islam ternyata tak hanya melahirkan ilmu pengetahuan, teknologi, serta peradaban yang tinggi. Seni kuliner juga ternyata mendapat perhatian begitu besar dari para sarjana Muslim. Tak heran, jika beragam aneka resep masakan dan hidangan berkembang pada masa kejayaan. Hal itu dibuktikan dengan beragam kitab kuliner yang ditulis para sarjana Muslim.

Seni kuliner menempati posisi yang terbilang penting dalam sejarah peradaban Islam. Apalagi Rasulullah SAW menyuruh umatnya untuk memperhatikan kesehatan tubuh: ''Ina li-jasadika `alayka haqqan (Jasadmu memiliki hak atas dirimu),'' begitu sabda Nabi Muhammad SAW.

Salah satu cara memelihara dan menjaga kesehatan tubuh adalah dengan menyantap makanan dan hidangan yang halal dan bergizi. Berkembangnya seni kuliner pada masyarakat Muslim di era keemasan berawal dari Revolusi Pertanian.

Pada masa itu, masyarakat Muslim Arab sudah mengembangkan beragam jenis sayur-sayuran dan buah-buahan yang sebelumnya tak dikenal. Tanaman sayuran dan buah-buahan itu lalu dikembangkan masyarakat Muslim di Mesir, Suriah, Afrika Utara, Spanyol, serta Sicilia.

Pengembangan seni kuliner di era keemasan tak dilakukan secara serampangan. Setiap hidangan dan resep yang diciptakan merupakan hasil dari penelitian dan didasarkan pertimbangan penata diet. Sebelum sebuah hidangan diperkenalkan kepada publik, para ahli kuliner Muslim meracik resep masakannya dengan penuh pertimbangan. Bumbu-bumbu masak yang digunakan pun merupakan hasil seleksi.

Sehingga hidangan yang diciptakan tak hanya lezat disantap, namun juga mengandung unsur-unsur pengobatan. Hidangan yang disajikan menjadi semacam obat yang dapat meningkatkan daya tahan tubuh dari penyakit serta mencegah penuaan dini. Untuk itu, para dokter Muslim berlomba untuk mencari dan meneliti rempah-rempah yang dapat dijadikan bumbu masak sekaligus berguna bagi kesehatan.

Dokter Muslim yang melakukan penelitian rempah-rempah yang berguna bagi kesehatan itu antara lain; Thabit Ibnu Qurra (836 M - 901 M), melalui sederet risalah yang ditulisnya; Abu Bakar Al-Razi (865 M - 925 M) dalam Al-Hawi fi't-tibb; Ibnu Sina melalui Canon of Medicine; Ibnu Sa'id al-Qurtubi (abad 10 M) dalam Kitab khalq al-janin wa tadbir al-hibala (diet untuk fetus dan ibu hamil); serta Abu Marwan Ibnu Zuhr (1092 M - 1161 M) dalam buku tentang Nutrisi.

Hasil penelitian para dokter Muslim itu lalu diterapkan para koki terkemuka Muslim dalam meracik makanan dan hidangan yang dibuatnyaa. Di era keemasan, terdapat sederet buku tentang masak-memasak. Beberapa buku kuliner yang dihasilkan para koki Muslim itu antara lain; Kanz al-fawa'id fi tanwi' al-maw'id yang ditulis seorang koki tak dikenal dari Mesir; Fadhalat al-khiwan fi atayyibat at-ta'am wa-'l-'alwan yang ditulis Ibnu Razin Attujibi pada abad ke-12 di Spanyol.

Selain itu ada pula Kitab At-tabikh fi al-Maghrib wa-'l-Andalus yang disusun seorang koki tak dikenal di Maroko pada abad ke-12 M; Kitab At-tabikh yang ditulis Mohammed al-Baghdadi pada abad ke-13 M di Irak; Kitab At-Tabikh: ditulis Ibn Sayyar al-Warraq pada abad ke-13 M di Irak; Tadhkira ditulis Dawad al-Antaki pada abad ke-13 M di Suriah; Wasla 'l-habib fi wasf al-tayyibat wa-t-tibb ditulis Ibnu A'dim pada abad ke-13 M di Suriah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement