REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bermula dari sebuah buku. Sejarah kemudian tertoreh. Hassan Al-Rammah, seorang sarjana Suriah di abad ke-13, mengenalkan teknologi militer berupa roket, melalui buku yang ia tulis. Ia tak hanya menuliskan buku tentang roket, tetapi juga membuat roket.
Waktu pun mengalir. Pada akhirnya roket dan buku karya al-Rammah menjadi sebuah jejak bagi pengembangan teknologi roket berikutnya. Roket pertama yang terdokumentasikan dalam bukunya, dipamerkan di National Air and Space Museum, Washington DC, Amerika Serikat (AS).
Pada September 2000, seorang ilmuwan dari Zurich, Swiss, Prof Dr Mohamed Mansour, berkunjung ke Washington, ia tak hanya mendapatkan informasi tentang pembuatan roket, tapi juga bahan bakarnya. Ia bahkan mendapatkan salinan buku Al-Rammah yang telah diedit.
Dalam bukunya, al-Rammah memang tak hanya fokus pada pembuatan roket, tapi juga memberikan gambaran mengenai penggunaan bubuk mesiu. Pada masa berikutnya, mesiu ini akan menjadi hal yang penting dalam perkembangan teknologi dan alat militer, berupa meriam.
Harus diakui, pada abad ke-11, orang-orang Cina terlebih dahulu mengenal bubuk mesiu. Namun, saat itu, mereka tak mengetahui bagaimana takaran bubuk mesiu yang tepat untuk membuat sebuah ledakan yang dahsyat.
Orang-orang Cina itu tak tahu bahwa untuk mendapatkan ledakan yang hebat, diperlukan pemurnian potasium nitrat. Buku Cina pertama yang menjelaskan bagaimana cara menentukan jumlah proporsi bahan peledak yang baik, baru diterbitkan pada 1412 oleh Huo Lung Ching.
Dalam konteks ini, buku karya Al-Rammah merupakan buku pertama yang menjelaskan prosedur pemurnian potasium nitrat, untuk menghasilkan ledakan dahsyat. Ia tentu tak sembarang menulis sebab terlebih dahulu ia melakukan uji ledak takaran mesiu yang dibuatnya.