Sabtu 17 Aug 2019 11:00 WIB

Membedah Filosofi Masjid Agung Demak

Yang menarik dari Masjid Agung Demak adalah sistem struktur empat soko gurunya.

Rep: Bowo S Pribadi/ Red: Agung Sasongko
Masjid Agung Demak merupakan salah satu masjid tertua yang ada di Indonesia yang terletak di Kampung Kauman, Demak.
Foto: Rakhmawaty La'lang/Republika
Masjid Agung Demak merupakan salah satu masjid tertua yang ada di Indonesia yang terletak di Kampung Kauman, Demak.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Yang menarik dari Masjid Agung Demak adalah sistem struktur empat soko gurunya. Empat tiang besar setinggi 19,54 meter dan berdiametar 1,45 meter ini dipercayai merupakan 'sumbangan' empat wali penyebar Islam di Jawa.

Keempat soko guru ini berdiri kokoh di ruang utama masjid yang dikonstruksi di empat penjuru arah. Soko guru barat laut merupakan sumbangan Sunan Sunan Bonang dan soko guru timur laut sumbangan Sunan Kalijaga.

Baca Juga

Sementara soko guru arah tenggara, sumbangan Sunan Ampel dan soko guru sebelah barat daya merupakan sumbangan dari Sunan Gunung Jati. Berdasarkan cerita yang disadur dari Babad Demak, soko guru yang dibuat Sunan Kalijaga memiliki keunikan dibandingkan tiga soko guru lainnya

Soko ini sering disebut sebagai soko 'tatal' atau tiang yang disusun dari serpihan kayu dengan cara dipasak dan diikat menjadi batang tiang besar dengan menggunakan perekat damar. Setelah kokoh, ikatannya dilepas dan teksturnya dihaluskan.

 

Keempat soko ini menahan beban bagian atap tertinggi. Sedangkan untuk menopang tajug yang lebih rendah, juga masih terdapat tiang di sekeliling soko guru.

Ilmu arsitektur dengan membagi beban seperti ini menunjukkan teknologi dalam memakai struktur rumah Jawa, untuk membentuk bangunan yang luas dan kokoh, sudah sangat dikuasai.

Di masjid ini, setidaknya ada tiga arah pintu masuk ke dalam bangunan utama masjid. Sedangkan pintu di tengah, langsung mengantarkan ke serambi masjid. Serambi masjid ini seluas 31x15 meter dan berlantaikan teraso berukuran 30x30 sentimeter yang sering disebut sebagai 'Serambi Majapahit'.

Disebut serambi Majapahit karena serambi ini memiliki delapan tiang penyangga bergaya Majapahit dan diperkirakan berasal dari kerajaan Majapahit.

Bangunan serambi ini merupakan bangunan tambahan yang dibangun pada masa Adipati Unus atau yang terkenal dengan sebutan Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor saat menjadi sultan Demak kedua pada tahun 1520.

Ruang utama yang berfungsi sebagai tempat shalat jamaah, letaknya di bagian tengah bangunan. Sedangkan, mihrab atau bangunan pengimaman berada di depan ruang utama, berbentuk sebuah ruang kecil dan menghadap ke arah kiblat

Di dalam ruang utama masjid, juga terdapat pawestren atau ruangan untuk shalat bagi wanita, dengan luas 15x17,30 meter yang terletak di sisi selatan masjid.

Ruang shalat wanita ini dibangun pada 1866 ketika KRMA Arya Purbaningrat menjadi adipati Demak. Atapnya berbentuk limas, disangga delapan pilar bergaya Majapahit.

Masih ada napas akulturasi pada bagian interior masjid. Perubahan dari tata cara berserah kepada sang pencipta agama Hindu di ruang terbuka ke dalam masjid memunculkan ide untuk membuat interior masjid menjadi lebih luas.

Kesan luas ini bisa disaksikan pada bagian ruang utama masjid yang berukuran 25x26 meter yang mampu menampung lebih dari 500 jamaah ini.

Di sebelah kanan ruangan utama, terdapat ruang khalwat. Ruang perenungan berukuran 2x2,5 meter ini dulunya dipakai para penguasa Kesultanan Demak untuk memohon petunjuk Allah SWT.

Hampir sekujur ruangan ini dipenuhi ukiran model Majapahit. Pada salah satu sudutnya terdapat relief aksara Arab yang memuliakan kebesaran Allah SWT. Sementara itu, di luar bangunan utama, di kompleks masjid Agung Demak juga terdapat beberapa bangunan pendukung.

Di kompleks masjid, terdapat 60 pusara makam pejuang Muslim Demak dan para pengikutnya. Antara lain, para sultan Demak, seperti Raden Patah, Pati Unus, dan Sultan Trenggono.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement