REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Keberadaan media sosial dewasa ini menjadi hal yang lumrah dan mudah ditemukan di mana saja. Perkembangan teknologi dan internet menjadi salah satu pemicu berkembangnya media sosial.
Penggunaan media sosial yang bijak dan baik, dapat membawa manfaat positif bagi penggunanya. Namun, beberapa waktu ke belakang, suasana media sosial memanas seiring dengan agenda 5 tahunan, pemilihan presiden.
Pakar media sosial Ismail Fahmi me nyebut, dari data yang ada, polarisasi atau pengelompokan-pengelompokan antarpendukung tiap calon presiden terasa kehadirannya di media sosial. Polarisasi ini terjadi berdasarkan keyakinan dan narasi-narasi yang dibangun.
"Polarisasi selama pilpres sangat kuat karena ada upaya membangun hal itu. Yang melakukan adalah mereka yang punya ke pen tingan, seperti partai politik dan pendu kung kedua calon. Mereka harus membangun polarisasi supaya memiliki ceruk pemilih. Polarisasi antardua kubu ini samasama kuat," ujarnya kepada Republika, Belum lama ini.
Ia menyebut, polarisasi ini dibentuk dengan membangun cerita atau narasi yang disesuaikan dengan massa yang disasar. Agar para pemilih mau mendukung mere ka, nara si ini dibagikan menggunakan be ragam cara terutama memanfaatkan buzzer dan robot.
Produksi narasinya pun dilakukan dengan intensif dan hampir setiap saat. Ismail menyebut, wajar jika kemudian masyarakat Indonesia terbagi menjadi dua kelompok yang sama besar. Hampir setiap hari, masyarakat disuguhkan dengan ajakan, cerita, gambar, maupun video yang sudah disiapkan sebelumnya. Media yang digunakan untuk menyebarkan informasi ini pun hampir seluruhnya digunakan baik Twitter, Facebook, Youtube, Instagram, dan aplikasi perpesanan Whatsapp.
"Sulit untuk tidak ikut terpolarisasi. Kita harus sangat kritis untuk bisa meno lak apa yang disebar. Kebanyakan masya ra kat dan umat ini tidak kritis, hanya ikutikut saja seperti air mengalir. Dan, aliran air ini sangat kuat," lanjut dia.
Narasi-narasi yang disebar ini, rata-rata merupakan bentuk kesalahpahaman informasi, yakni sengaja diciptakan untuk membangun sebuah sentimen atau kebanggaan akan suatu kelompok sehingga isinya menjadi tidak objektif.
Informasi-informasi yang diambil ratarata yang dirasa menguntungkan kelompoknya dan menjatuhkan kelompok lain.
Adapun untuk pilpres 2019 beberapa wak tu lalu, terasa ada polarisasi di dalam in ternal umat Islam. Ismail menyebut, agama dan politik akan selalu berkaitan. Aga ma Islam di Indonesia merupakan bagian dari identitas yang jumlahnya banyak. Hal ini dimanfaatkan oleh mereka yang bermain politik untuk mencari dukungan atau suara.
"Politik identitas ini, selama ada dalam kontestasi politik dan akan selalu dipakai karena ini yang paling mudah. Begitu isu ini dipakai, yang cocok dengan agama atau keyakinan itu akan langsung otomatis se tuju tanpa perlu didatangi satu-satu. Cukup main isu, orang akan sepakat. Ini mu dah kena ke perasaan," kata dia.
Ismail menyebut, salah satu cara untuk terhindar dari polarisasi dan pengkubuan adalah dengan meningkatkan literasi baik di bidang politik maupun media sosial. Peng guna media sosial harus kritis dan mampu membaca informasi yang diberikan, apakah mengandung narasi dan tu juan tertentu atau tidak. Kontestasi politik 2019 ke marin hendaknya menjadi pelajar an agar tidak terjadi perpecahan yang lebih parah.