Senin 12 Aug 2019 23:43 WIB

Masjid al-Mansur Menjadi Markas Melawan Penjajah

Rasa nasionalisme berusaha ditanamkan di lingkungan masjid al-Mansur.

Sejumlah umat Muslim melaksanakan ibadah Shalat Dzuhur di Masjid Jami Al Mansur, Tambora, Jakarta Barat, Senin (18/12).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah umat Muslim melaksanakan ibadah Shalat Dzuhur di Masjid Jami Al Mansur, Tambora, Jakarta Barat, Senin (18/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejarah perjuangan yang dilakukan KH Muhammad Mansur masih melekat di benak keturunan beliau maupun jamaah masjid Al-Mansur. Tak ayal, sebuah tradisi yang sarat nilai nasionalisme terus dijaga. Tiap Jumat, kibaran bendera merah putih terlihat di tiang depan masjid yang menghadap Jalan Sawah Lio II, Jembatan Lima, Tambora, Jakarta Barat.

''Hal ini untuk mengingatkan bagaimana para pejuang bangsa, khususnya masyarakat sekitar Jembatan Lima ikut berperan serta merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda,'' ungkap takmir masjid, Ery Rukya.

Baca Juga

Rasa nasionalisme berusaha ditanamkan di lingkungan masjid ini karena bangunan tersebut pernah digunakan sebagai tempat markas dan memobilisasi para pejuang sekitar Tambora, yang dipimpin oleh KH Muhammad Mansur. Sebuah pertempuran frontal dikisahkan pernah terjadi di depan masjid ini. Ketika itu, terjadi baku tembak antara pejuang RI yang berlindung di masjid dan tentara NICA yang kala itu masuk dari Pelabuhan Sunda Kelapa, lalu bergeser ke selatan menuju daerah kota dan menyebar ke sekitar Tambora.

Dengan gagah berani, KH Muhammad Mansur mengibarkan bendera Merah Putih di atas kubah menara masjid. Sesudah peristiwa tersebut, KH Muhammad Mansur lalu dipanggil ke Hofd Bureau atau semacam polsek untuk diadili dan ditahan. Karena itu, setelah meraih kemerdekaan, pemerintah memberi kehormatan dengan memberi nama masjid bersejarah itu Masjid Jami Al-Mansur.

Namanya pun diabadikan untuk nama jalan persis di muka Jalan Sawah Lio II, Kelurahan Jembatan Lima. Pada 12 Mei 1967, KH Muhammad Mansur wafat, dan kepengurusan masjid dekat Stasiun KA Angke dan Pasar Jembatan Lima ini dilanjutkan oleh Badan Panitia Kepengurusan Masjid Jami Al-Mansur hingga sekarang.

Sosok KH Muhammad Mansur yang tersohor sebagai ahli hisab (ahli falak, perbintangan--Red) ini juga dikenal memiliki watak yang tegas dan tak mau terikat oleh pengaruh pihak luar. Hal ini terbukti saat Presiden pertama RI Soekarno meminta bantuannya untuk menyelesaikan konflik di kalangan Nahdlatul Ulama (NU) serta menawarkan jabatan. Sang tokoh ini menampik permintaan itu dengan alasan hanya mau membantu sesuai bidang yang dikuasainya, yakni ilmu hisab.

Setelah wafat, seluruh kegiatan pengajaran ilmu kepada santri yang belajar taklim dilanjutkan sang cucu laki-laki satu-satunya, Kiai Ahmadi. Sosoknya pun dikenal tegas seperti sang kakek. Saat ini, keturunan KH Mansur tersebar ke berbagai ranah dakwah keislaman. Salah satunya sang cicit, ustadz Yusuf Mansur, yang rutin menggelar pengajian Majelis Dhuha-nya pada minggu ketiga tiap bulan di Masjid Al-Mansur tersebut.

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement