REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Luthfan
Ummul Mukminin, Aisyah RA berkata, “Para sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW, tidakkah (sebaiknya) kami bangunkan rumah untuk engkau di Mina (sebagai tempat bernaung)?”
Beliau menjawab, “Tidak perlu, karena Mina tempat singgah siapa yang datang lebih dahulu” (Hadis hasan sahih, HR Tirmidzi).
Pada zaman dahulu, Mina merupakan hamparan padang luas dan belum dibangun sedemikian rupa seperti sekarang ini. Dengan luas sekitar 650 hektare, Mina mampu menampung jamaah haji dalam jumlah yang cukup besar, kendati tidak sama dengan saat ini.
Di sekitar Mina, pada zaman silam belum ada pengaturan tempat, pembangunan jembatan, terowongan, dan perkemahan serapi saat ini. Namun, perkembangan jamaah yang terus meningkat hingga mencapai berjuta-juta orang, mendorong Pemerintah Arab Saudi untuk meningkatan layanan ibadah haji. Hal itu dilakukan untuk menghindari jatuhnya korban jiwa saat melempar jumrah.
Kondisi demikian sangat jauh berbeda dengan masa Rasulullah SAW, jamaah haji yang datang menaiki unta dan datang lebih awal ke Mina, dipersilakan untuk mengikatkan untanya di tempat yang ia kehendaki. Bagi jamaah haji yang datangnya belakangan, tidak mendapatkan tempat sebagaimana yang datang lebih dahulu.
Mina atau Muna dalam bahasa Arab berarti 'harapan". Tempat ini menjadi harapan bagi Nabi Adam AS, setelah dibisiki bertemu dengan Hawa karena perpisahan selama 200 tahun.
Pada kisah yang sama, Mina berasal dari kata Amna berarti 'mengalirkan darah.' Mina menjadi tempat bagi Nabi Ibrahim AS melaksanakan perintah Allah SWT untuk menyembelih putranya, Nabi Ismail AS.
Ibadah ini kemudian disyariatkan kepada umat Islam untuk menyembelih hewan kurban pada Hari Raya Idul Adha hingga hari Tasyrik, untuk mengenang peristiwa yang terjadi pada Nabi Ibrahim itu.
Mina berarti juga mengalami 'cobaan.' Tidak saja harus mengorbankan putra tersayangnya, Ibrahim juga diuji oleh setan. Karena itulah, Nabi Ibrahim AS melempari setan itu dengan batu. Kisah ini diabadikan dengan kewajiban setiap jamaah untuk melempar jumrah (‘Aqabah, Ula, Wustha).
Tidak hanya berhenti sampai di situ, Rasulullah SAW juga dibaiat oleh orang-orang Anshar untuk menjadi warga setempat ketika tiba di Mina. Di Mina, jamaah haji tidak diperbolehkan melakukan hubungan suami istri sampai prosesi ibadah hajinya selesai.
Peristiwa-peristiwa besar di atas menggambarkan akan harapan-harapan dan kebaikan saat melaksanakan ibadah haji di Mina. Mina menjadi saksi atas berkumpulnya dua perkara penting yaitu perintah (amr) dan juga larangan (nahy). Ibrahim menaati perintah Allah untuk menyembelih putra yang disayanginya, dan larangan mengikuti setan, serta menjauhi hubungan suami-istri.
Di Mina, jamaah disunahkan berdoa, “Ya Allah, tempat ini adalah Mina, maka anugerahilah aku apa yang telah engkau anugerahkan kepada orang-orang yang selalu dekat dan taat kepada-Mu.”
Mari kita berlomba-lomba menuju Mina agar mendapatkan tempat paling baik untuk memperoleh harapan dan kebaikan. di Mina. Wallahu a’lam.