REPUBLIKA.CO.ID, Dianggap gila, padahal tidak? Tentu hal semacam itu sangat tidak mengenakkan, namun pada faktanya pernah terjadi. Dalam karya Abu al-Qasim an-Naisaburi berjudul Uqala al-Majanin (Kebijaksanaan Orang-Orang Gila), terungkap beberapa tokoh yang pernah mengalami hal tersebut.
Karya Abu al-Qasim ini di satu sisi membela orang-orang yang dianggap gila dengan menunjukkan ketidakgilaan mereka. Di sisi lain, kitab ini juga memberikan krtirik tajam untuk kegilaan dan kedunguan.
Dosen filsafat dan penerjemah buku ini, Zainul Maarif dalam kata pengatarnya menjelaskan bahwa anggapan gila pada seseorang tidak otomatis menujukkan bahwa yang ditunjuk adalah orang gila. Terkadang, orang yang dianggap gila tersebut justru orang yang benar dan baik. Hal itu bisa dibuktikan dengan melihat sejarah orang-orang besar di ranah agama, fisalfat dan sains.
Di ranah agama misalnya, para pembaca dapat melihat kembali kisah Rasulullah yang pernah dicap gila saat awal-awal mendakwahkan ajaran Islam. Di tengah-tengah kaum Quraish, Rasulullah mendakwahkan monoteisme, kemanusiaan, dan akhlak yang mulia.
Namun, kaum kafir Quraisy saat itu masih tetap mempertahankan keyakinan mereka kepada dewa-dewa, yang diwarnai dengan perbudakan, penistaan pada perempuan, perjudian, mabuk-mabukan dan segala tindakan buruk lainnya.
Saat Rasulullah mengenalkan ajaran Islam, Rasulullah pun dituduh sebagai orang gila yang menyesatkan warga Makkah dan diancam untuk dibunuh. Akhirnya Rasulullah hijrah ke Yatsrib, yang kini dikenal sebagai Kota Madinah.
Di ranah filsafat, Socrates juga pernah dianggap gila oleh orang-orang Yunani. Bapak filsafat yang dikenal sangat bijaksana itu dianggap gila karena mempertanyakan hal-hal yang diterima begitu saja oleh orang Yunani.
Dengan pertannyaannya itu, Socrates menyadarkan orang-orang agar tidak terpaku pada opini (doza), melainkan mengarah kepada pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan (episteme). Atas langkahnya itu, penguasa Yunani pun menganggap Socrates menyesatkan masyarakat.
Akibatnya, Socrates dihukum mati oleh penguasa Kota Athena. Filsuf itu memilih tidak melarikan diri. Dia justru menghabiskan hari-hari terakhirnya untuk berkumpul dengan teman-temannya sebelum akhirnya meminum racun dari algojo.
Dengan memperjuangkan gagasannya, Socrates tentu saja tidak gila. Jurstru orang-orang yang menghukumnya yang gila. Karena, pemikiran Socrates itu justru pada akhirnya dapat membawa perubahan yang besar terhadap perkembangan filsafat di Yunani.
Jamaah Masjid Nabawi khusyu berdoa di area Raudhah Masjid Nabawi, Madinah.
Selain itu, di ranah sains juga terdapat tokoh besar yang dianggap gila pada zamannya, yaitu Giorgano Bruno. Dia dianggap melenceng dari jalur intelektualitas dan agama gara-gara mengkampanyekan heliosentris.
Menurut dia, matahari lah yang diputari bumi, bukan sebaliknya. Pernyataan itupun bertentangan dengan keyakinan Gereja yang menganggap bahwa bumi lah yang dikelilingi matahari. Akibatnya, Bruno pun dibakar hidup-hidup.
Tetapi pada akhirnya tebukti bahwa pendapat Bruno justru benar, sedangkan keyakinan Gereja salah. Karena itu, sebutan gila pada seseorang itu tak sepenuhnya benar. Filsuf Prancis, Michael Foucault dalam bukunya yang berjudul Folie et Deraison menguatkan kekeliriuan tersebut dengan menyatakan bahwa klaim tentang kegilaaan sebenarnya merupakan produk kuasa struktural.
Menurut Foucault, ada kuasa pengetahuan yang mendikte kategori kegilaaan, sehingga kategorisasi itu tak selamanya objektif. Subjektivitas penilaian tentang kegialaan itu lah yang juga dicatat dalam buku terjemahan kitab Uqala al-Majanin ini.
Buku ini dapat mengubah cara padang dan perlakuan seseorang terhadap orang-orang gila yang cerdas. Sebab, sebagaimana dicatat dalam poin ke-441 buku ini bahwa pada dasarnya semua manusia itu gila. Hanya kadar dan objek kegilaannya saja yang membedakan antara manusia satu dengan yang lain.
Kitab yang diterjemahkan oleh Zainul Maarif ini berusia 400 tahun lebih tua dari Kisah 1001 Malam dan ditulis dengan sangat hati-hati berdasarkan metode periwayatan yang ketat layaknya hadis. Namun, dalam buku terjemahan ini, rantai periwayatan tersebut sengaja dipangkas agar para pembaca fokus pada kisah yang disampaikan.