Ahad 11 Aug 2019 15:21 WIB

Memahami Pesan Spiritual dan Sosial Idul Kurban

Idul Kurban harus mampu menggugah solidaritas kemanusiaan.

Dr KH Syamsul Yakin MA (tengah, bergamis putih) bersama pengurus dan jamaah Idul Adha Masjid Asy-Syarif Al-Azhar BSD Serpong, Tangerang Selatan (Tangsel).
Foto: Dok Asy-Syarif Al-Azhar BSD Serpong, Tangerang Selatan.
Dr KH Syamsul Yakin MA (tengah, bergamis putih) bersama pengurus dan jamaah Idul Adha Masjid Asy-Syarif Al-Azhar BSD Serpong, Tangerang Selatan (Tangsel).

REPUBLIKA.CO.ID, TANGSEL -- Sebagai sebuah refleksi historis, Idul Adha atau yang biasa disebut sebagai Hari Raya Kurban merupakan simbol ketaatan, pengorbanan, dan cinta. Nabi Ibrahim yang hidup di tengah masyarakat bercorak pastoralis (kelompok masyarakat peternak), melambangkan sosok ayah yang demokratis. Kendati Allah yang memberi perintah untuk mengorbankan Nabi Ismail, Nabi Ibrahim tetap mempunyai pertimbangan kemanusiaan. Dalam bahasa puitis Alquran,  dialog Nabi Ibrahim itu berbunyi, “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?” (QS. al-Shaffat/37: 102). 

Sebagai seorang anak, Nabi Ismail adalah representasi anak yang penuh bakti, baik kepada orangtua apalagi kepada Allah. Di usia muda, Nabi Ismail sudah memiliki keinsyafan spiritual sebagai manusia pada yang Maha Absolut. Nabi Ismail dengan penuh kerendahan hati dan percaya diri meminta agar Nabi Ibrahim melaksanakan perintah Tuhan. Nabi Ismail mengatakan, “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. al-Shaffat/37: 102). 

“Dengan demikian ibadah kurban bisa dimaknai sebagai pemberian sesuatu yang paling dicintai untuk dipersembahkan kepada Yang Maujud, Allah,” kata Pengasuh Pondok Pesantren Darul Akhyar Kota Depok, Dr KH Syamsul Yakin MA dalam khutbah Idul Adha di Masjid Asy-Syarif Al-Azhar BSD Serpong, Tangerang Selatan (Tangsel), Banten, Ahad (11/8).

Dosen Pascasarjana FIDIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta  itu menambahkan, dalam konteks sosio-historis Nabi Ibrahim, Nabi Ism’ail, dan Siti Hajar terbukti telah mampu meniadakan rasa cinta dunia untuk menggapai cinta akhirat. Mereka rela mengorbankan sang anak, Nabi Isma’il, karena perintah Allah yang mereka yakini ada dan hadir di tengah mereka. Keyakinan akan Ke-Maha-Hadiran- Nya secara profan inilah yang dikatakan oleh filosof Jerman Max Scheler, sebagai dasar aktifitas ruhaniah manusia. “Jadi ibadah kurban sedianya menjadi media efektif untuk melatih diri agar selalu erat dan dekat kepada Allah,” ujarnya dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Ahad (11/8).

Masalahnya kini, apakah rangkaian Idul Kurban termasuk penyembelihan hewan ternak telah benar-benar menimbulkan kesadaran spiritual atau batiniah umat ataukah sekedar mode, ikut-ikutan, dan sesuatu yang terjadi berulang-ulang saja? “Kalaulah jawabannya adalah yang kedua, berarti kita patut untuk menata kembali pemahaman kita mengenai hakikat kurban. Secara tak sadar, kita saat ini telah terjebak dalam gerak tubuh dan lambang keagamaan yang justru akan menempatkan kita pada ruang gelap-hitam. Sehingga, pesan spiritual ibadah kurban tidak mampu dilihat, baru sekedar dikira dan diraba,” paparnya. 

Misalnya, titah Allah tentang nash ibadah kurban dalam surat al-Kautsar/108 ayat 1-2 yang maknanya, “Sesungguhnya, telah Kami tebarkan nikmat yang banyak kepadamu. Maka, dirikanlah shalat dan berkurbanlah.” 

Ayat di atas, kata Syamsul  Yakin, tentunya terbuka untuk ditafsirkan sesuai dengan konteks sosial budaya kemasyarakatan tertentu sebagai upaya menyelami makna terdalam Alquran. Sehingga kurban, saat ini, bisa jadi amat berbeda dengan apa yang keluarga Nabi Ibrahim laksanakan sebagai kelompok masyarakat pastoralis (kelompok masyarakat peternak) saat itu. Mereka menilai daging (hewan ternak) merupakan hewan berharga sehingga patut dikurbankan sebagai bukti ketaatan kepada Allah. 

Dalam kaitan di atas, kiranya perlu disimak Kalam Mulia Allah yang menegaskan: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. al-Hajj/22: 37). “Maksudnya, mesti dipahami bahwa kurban memiliki segi spiritual yang dapat dikembangkan dan diolah, sehingga pemahaman terhadapnya bukanlah sekedar terhadap hal-hal yang bersifat ragawi atau bendawi saja. Hakikat kurban terdalam bukanlah terletak pada rangkaian ibadah mulai dari shalat Ied sampai penyembelihan hewan kurban dan gema takbir yang mengiringinya,” tuturnya. 

Karena itu, kata Syamsul Yakin, kebersihan jiwa, keikhlasan beramal, sesungguhnya untuk mendapat ridha Tuhan dalam ibadah kurban, kiranya, menjadi prasyarat tersirat yang jika tidak dimiliki akan membuat perbuatan tersebut sia-sia. Atau pengorbanan tersebut akhirnya sekedar menjadi lipstik belaka. Kesalehan yang diraihpun hanyalah kesalehan sosial atau kesalehan simbolik an sich. 

Ia menegaskan, dari segi sosial dan kemanusiaan, peristiwa kurban memiliki makna yang amat penting. Selain akan mengubur semangat individualistis dan tradisi memamerkan kekayaan yang kian tumbuh subur saat ini, secara nyata masyarakat miskin dan tidak mampu akan merasa “tergembirakan” hatinya dengan menerima hewan kurban. 

Tentunya, kata dia, peristiwa ini akan dapat menumbuhkan solidaritas kemanusiaan di antara sesama secara berkelanjutan. Dalam kehidupan nyata di negeri  Indonesia saat ini, misalnya memberikan bantuan sembako, bantuan dana untuk program pengembangan usaha menengah, kecil dan koperasi, dan pasar murah di halaman berbagai kantor dan pelataran masjid. Aktivitas ini, belakangan digerakan oleh berbagai kelompok elit kekuasaan, pengusaha, dan aktivis keagamaan. 

“Kita berharap semua yang telah mereka lakukan dalam pandangan Tuhan dinilai sebagai kebajikan. Seperti firman-Nya, ‘Kamu sekalian tidak akan memperoleh kebajikan sebelum kamu mendermakan sebagian dari (harta) yang kamu cintai’  (QS. Ali Imran/3:93),” tuturnya. 

Memang, kata Syamsul Yakin, dalam kehidupan aktual, indikasi keimanan dan ketakwaan dapat berbentuk kepedulian sosial, penghargaan terhadap kemanusiaan manusia, memperjuangkan terciptanya demokrasi ekonomi-politik serta yang lainnya. Dengan kata lain, Idul Kurban harus mampu menggugah solidaritas kemanusiaan, tidak saja di antara kaum mislimin, tetapi melewati batas- batas agama, suku, bangsa, ras, dan status sosial.

“Kesimpulannya, dapat dipahami bahwa penyembelihan kurban hanyalah jalan (thariqah) dan bukan jaminan (borg) untuk mendapatkan kualitas keimanan dan ketakwaan. Jerih payah seseorang akan dibalas setimpal dengan apa yang terdetak di hatinya. Keringat tak akan berkhianat,” ujar Syamsul Yakin.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement