REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bulan Dzulhijjah kembali menyapa. Artinya, seluruh umat Islam dari berbagai penjuru dunia kembali terpanggil untuk melaksanakan ibadah haji di Tanah Suci.
Pakar fikih Ustaz Oni Sahroni menyebutkan, berhaji memiliki beberapa keutamaaan. Pertama, melaksanakan ibadah haji yang memenuhi ketentuan dan rukunnya merupakan kewajiban. Maka setiap jamaah haji telah gugur melakukan tanggung jawab tersebut kepada Allah SWT.
"Kedua, berhaji merupakan momentum taqarrub dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah SWT sebagaimana rangkaian manasik atau ritual ibadah haji yang bersifat tawaquf (ketaatan penuh). Hal itu didesain untuk menguji setiap hamba jamaah haji akan militansinya kepada Allah SWT," jelas Oni kepada Republika.co.id, Kamis (8/8).
Ketiga, lanjut dia, menjalankan ibadah haji menjadi momentum untuk menapak tilas pengorbanan dan perjuangan para nabi, khususnya Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Jadi, setiap rangkaian ibadah haji tidak hanya ditunaikan dengan memenuhi rukun dan syaratnya, tetapi juga menghadirkan sejarah besar yang melahirkan ibadah tersebut.
"Contohnya membayar al-hadyu dan melempar jumrah. Keduanya adalah perlawanan setiap manusia terhadap ajakan setan untuk bermaksiat dan perlawanan setiap diri terhadap syahwatnya," jelas Oni.
Begitu pula, lanjutnya, dengan menyembelih kurban. Berkurban menghadirkan sejarah betapa pengorbanan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail yang sangat tunduk dan patuh kepada Allah SWT, menerima perintah yang sangat berat untuk menyembelih anak kandungnya sendiri, dan itu dilaksanakannya.
Keutamaan berhaji keempat, tambah Oni, yaitu sebagai momentum bermuhasabah atau mengevaluasi diri dan keluarga terhadap perjalanan hidup yang sudah dilaluinya. "Apakah peran-peran yang sudah ditunaikannya sebagai seorang suami, istri, anak, karyawan, manajer, pengusaha, guru, dan lainnya sudah ditunaikan sesuai keinginan, kehendak, dan ridha Allah SWT atau belum," jelasnya.