REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islam telah tiba di Kenya sejak abad ke-8 M. Tak heran jika selama berabad-abad, kaum Muslim berkembang di pesisir pantai timur Afrika dengan hukum Islam. Namun, invasi Portugis telah membuat pengaruh Islam di negara itu meredup. Islam kembali bangkit 200 tahun kemudian, setelah Portugis berhasil diusir dari Kenya.
Kepentingan Inggris terhadap daerah Afrika bagian timur dimulai pada akhir abad ke-19, ketika mereka mendirikan perusahaan Kerajaan Inggris Afrika Timur. Mereka menemukan sistem peradilan Islam berlaku dan dijalankan di Kenya. Pada 1895, Sultan Zanzibar tak keberatan dan menyetujui Inggris mengelola jalur sepanjang pantai sebagai protekorat, bukan sebagai koloni.
Hal itu berbeda dengan daerah di daratan yang menjadi koloni. Sultan Zanzibar meminta Inggris menghargai sistem peradilan Islam yang berada di daerah tersebut. Meskipun Inggris menghormatinya, sistem peradilan Islam perlahan-lahan menghilang. Yang tinggal hanyalah undang-undang mengenai pribadi, seperti pernikahan, perceraian, dan warisan.
Hukum-hukum itu diterapkan oleh Pengadilan Liwali, Mudir, dan Qadi. Kebijakan yang hanya mengatur mengenai undang-undang pribadi ini juga dilakukan di beberapa wilayah Muslim, seperti Nigeria Utara dan India yang juga berada di bawah kekuasaan Inggris.
Kepala Qadi atau hakim diangkat untuk menjadi pemimpin sistem peradilan Islam. Ia menjadi pegawai negeri yang ditunjuk oleh administrator kolonial seperti halnya petugas yudisial lain. Kantor Kepala Qadi Kenya berlokasi di Kota Mombasa, kota kedua terbesar di negara tersebut. Salah seorang kepala Qadi yang terkenal adalah Syekh Muhammad bin al-Farsy.
Ia terkenal karena karyanya yang monumental, yaitu Qura’aini Takatifu, yaitu terjemahan Alquran ke bahasa Swahili. Setelah Kenya meraih kemerdekaan, Pengadilan Qadi didirikan dan Kepala qadi sebagai hakim. Kepala qadi dipilih oleh Komisi Yudisial. Mereka ditempatkan di provinsi-provinsi yang terletak di pesisir pantai dan timur laut, yang mayoritas penduduknya adalah Muslim.
Kini, ada 14 qadi di Kenya. Mereka ditempatkan di beberapa daerah, antara lain, Mombasa, Nairobi, Kisumu, Nakuru, Mandera, dan Kwale. Namun, jumlah ini masih belum memadai karena ternyata umat Islam dijumpai di hampir seluruh wilayah.
Pada 1981, pemerintah mengusulkan untuk menggabungkan hukum. Gagasan itu ditolak oleh masyarakat Muslim karena dianggap menjauhkan diri dari hukum mereka. Adalah Syekh Abdallah Farsy menjadi orang yang memimpin masyarakat yang memprotes hukum baru tersebut. Pemerintah Kenya pun membatalkan niatnya untuk menggabungkan hukum.
Pada 2005, Pemerintah Kenya kembali mengusul kan sebuah proposal untuk membuat sebuah konstitusi baru. Meskipun masyarakat Muslim memiliki hak partisipasi dalam seluruh prosesnya, mereka tidak menyukai ketentuan yang terdapat pada aturan baru itu, karena melemahkan Pengadilan Qadi.