REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam sejarah Islam, Bani Qurayzhah pernah memberontak terhadap pemerintahan Rasulullah SAW di negara Madinah. Karena itu, Nabi Muhammad SAW kemudian mengutus beberapa sahabat untuk berdialog. Tujuannya mengajak mereka kembali ke dalam pemerintahan yang sah.
Menurut Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kiai Cholil, ada pelajaran berharga peristiwa tersebut. Para sahabat Nabi SAW dalam perjalanan menuju kampung Bani Qurayzhah. Di antara mereka, ada yang meyakini pemahamannya sendiri dan menjalankannya, tanpa menyalahkan orang lain atau praktik keagamaan yang berbeda.
"Mereka rukun dalam satu misi yang diemban dari Rasulullah SAW sampai tuntas," ujar Kiai Cholil dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Senin (22/7).
Sementara itu, menurut Kiai Cholil, saat ini dapat dikatakan ego partisan kerap menjadi pemicu persoalan keagamaan di internal umat. Bahkan, ada beberapa yang merasa benar sendiri dan cenderung menyalahkan pemahaman pihak lain. Malahan, mereka tak segan mengganggu praktik ibadah pihak-pihak yang berbeda dengan dirinya.
"Umat yang memahami Islam wasathi (umatan wasatha) adalah memahami Islam yang tengah dan moderat, yaitu berpijak kepada teks yang secara bersamaan menggapai konteks dan substansinya," kata Kiai Cholil
Kisah Menuju Kampung Qurayzhah
Kiai Cholil menuturkan kisah yang dimaksud. Suatu ketika, Rasulullah SAW berpesan kepada beberapa delegasi yang akan berangkat ke kampung Bani Qurayzhah: "Sungguh janganlah kalian shalat kecuali di kampung Bani Qurayzhah".
Namun, di tengah perjalanan tibalah waktu Ashar. Sebagian rombongan sahabat bergegas untuk melaksanakan shalat Ashar. Adapun sebagian lainnya mengikuti perintah Rasulullah SAW untuk tidak melaksanakan shalat Ashar kecuali di kampung Bani Qurayzhah.
Setelah para sahabat Nabi berhasil melakukan negoisasi dan mengembalikan Bani Quraizhah ke dalam pangkuan pemerintahan Madinah, mereka pun melaporkan misinya kepada Rasulullah SAW.
Ada sahabat yang menyampaikan perbedaan pendapat terkait pelaksanaan shalat Ashar. Saat itu, ada di antara para delegasi yang melakukan shalat Ashar tepat waktu di perjalanan. Ada pula yang mengganti shalatnya (qadha) sesampainya di kampung Bani Qurayzhah. Menanggapi itu, Rasulullah SAW tak menyalahkan salah satu dari keputusan mereka. (HR. Bukhori).
"Kiai Hasyim Asy’ari mengomentari hadis ini dalam kitab Risalatu Ahlissunnah wal jamaah bahwa seseorang dapat dan sah mengamalkan syariah sebatas dan sesuai dengan apa yang dipahaminya dengan catatan bukan karena dorongan hawa nafsunya," kata Kiai Cholil.
Menurut Kiai Cholil, ilustrasi hadis Bani Qarayzhah ini menunjukan bahwa sesuai latar belakang dan kemampuan berpikir manusia pasti berbeda-beda meskipun dalam memahami teks dan kondisi yang sama. Ada yang punya pola pikir tektual dan ada pula yang punya pola pikir kontektual, bahkan substasial.
"Yang memahami tekstual berfokus pada isi teks saja dan kadang mengabaikan pada kondisi dan kenyataan yang di sekitarnya. Bagi yang berpola pikir kontekstual maka memahami perintah Nabi SAW disesuaikan dengan keadaan," ucapnya.
Kiai Cholil mengatakan, selama penafsiran agama itu dilakukan dengan kerangka pikir keagamaan dan semata-mata mencari kebenaran, maka Nabi pun tak menyalahkan salah satu dari dua pendapat para sahabat yang berlawanan. "Pendapat keagamaan yang dilarang manakala dimotivasi oleh kebohongan dan kepentingan duniawi," katanya.