REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masih teringat di benaknya peristiwa dua tahun lalu. Wanita berdarah Skotlandia bernama Larissa Bennet ini hendak mencari suasana baru. Bosan dengan tanah kelahirannya. Dari negeri asal, Wanita muda ini terbang ke negeri warisan peradaban kuno: Mesir.
Kesehariannya dihabiskan di sebuah resor yang indah lengkap dengan beragam fasilitas. Di negeri yang beberapa kali mengalami pergantian penguasa itu dia bekerja, menjalin pertemanan. Ketika itu, tak sedikit pun berencana untuk menjalin hubungan dengan pria asing, tapi kenyataan berkata lain. Dia dekat dengan seorang pria Mesir. Seiring waktu berjalan, dua sejoli ini men jalin hubungan yang serius. Keduanya bah kan merencanakan untuk hidup bersama.
Suatu hari Bennet menyaksikan suatu hal tak biasa tentang pria yang dicintainya ini. Sang pacar menjadi lebih sering menjalankan shalat baik sunah maupun wajib. Juga berpuasa meski bukan pada Ramadhan. Saat duduk mengisi keko songan, pria ini mendengarkan ceramah ulama, me nangkap pesan takwa yang mereka sampaikan sehingga menginspirasi kehidupan.
Namun, bagi Bennet ini bukan hal biasa. Bennet mengkhawatirkan kekasihnya menjadi taat menjalankan Islam. Bennet ketika itu berprasangka buruk, bahwa Islam adalah agama yang tidak menghargai perempuan.
Tanpa menelusuri dan mempelajari Islam, wanita yang ketika itu memeluk Kristen ini berprasangka, jangan-jangan suatu hari nanti, kekasih itu akan menjadi garang terhadap dirinya, menghardik, bahkan menganiayanya. Sungguh hal itu sangat saya takutkan, tulis Bennet dalam portal aboutislam.com