Ahad 21 Jul 2019 19:30 WIB

Kebenaran Datang kepada Siapa Saja

Kebenaran tak dilihat dari status ekonomi, pendidikan, ataupun keturunannya.

Takwa (ilustrasi).
Foto: blog.science.gc.ca
Takwa (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hidayah atau petunjuk bisa datang kepada siapa saja yang dikehendaki Allah. Tak peduli bagaimana status sosial maupun tingkat pendidikannya. Ustaz Ahmad Zainuddin al-Banjary menegaskan, kebenaran tak dilihat dari status ekonomi, pendidikan, ataupun keturunannya, tapi dari petunjuk yang Allah berikan.

"Kalau Allah memberikan petunjuk, niscaya orang itu dapat petunjuk walau orangnya miskin, kaya, ningrat, atau apa pun," ujarnya dalam Kajian Ilmiah di Masjid at-Tarbiyah, Cilandak Barat, Jakarta, belum lama ini.

Ia menuturkan, saat Rasulullah SAW mulai berdakwah, orang kafir Quraisy menganggap seluruh pengikut Nabi Mu hammad SAW hanya dari kalangan orang miskin dan lemah. Padahal, tidak semuanya.

Sebab, selain ada Bilal bin Rabah, Abdullah bin Mas'ud, dan keluarga Yasir, ada pula Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khattab, serta Utsman bin Affan yang ter masuk golongan terhormat Quraisy. "Mereka saudagar-saudagar kaya, terkenal, dan terhormat. Jadi, tidak benar pengikut Nabi adalah orang-orang yang lemah tingkatan ekonomi, keturunan, serta pendidikannya," tutur Ustaz Ahmad.

Mengutip hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, dia menjelaskan, Abdullah bin Mas'ud berkata, "Para pembesar Quraisy lewat di hadapan Rasulullah. Saat itu di dekat Nabi ada sahabat nabi yang dianggap rendah kedudukannya oleh orang-orang Quraisy, seperti Suhaib, Ammar, Khabbab, dan lainnya. Para pembesar Quraisy itu berkata: Ya Muhammad! Apakah kamu rela mereka yang rendah derajat itu menjadi pengganti kami? Apakah mereka itu orang-orang yang dikaruniai Allah di antara kita? Apakah kami akan menjadi peng ikut mereka? Maka, singkirkanlah me reka dari kamu, jika mereka telah ter singkir, kami akan mengikuti kau."

Mendengar perkataan tersebut, Nabi Muhammad hendak menyuruh para sahabatnya pergi, tapi kemudian turunlah surah al-An'am ayat 52 dan 53. Allah memperingatkan Rasulullah agar tidak menyingkirkan para sahabatnya yang taat.

Dalam QS al-An'am ayat 52, Allah berfirman, "Dan, janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya. Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatan mereka dan mereka pun tidak memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka, (sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim)."

Ustaz Ahmad menjelaskan, maksud dari 'orang-orang yang menyeru Tuhan nya di pagi dan petang hari', yaitu para ahli ibadah yang selalu menjaga shalat lima waktu. "Ini pentingnya menjaga sha lat lima waktu. Kalau kita mau mulia, ja galah shalat lima waktu. Mau dekat sama Rasulullah, jadilah orang yang senantiasa shalat lima waktu."

Lebih lanjut, kata dia, dalam ayat itu Allah menegaskan kepada Baginda Rasul supaya tidak mengusir sahabat-sahabatnya yang dianggap lemah oleh lainnya meski demi mendakwahi pembesar Quraisy. Pasalnya, Allah nyatakan, perbuatan kafir Quraisy bukanlah tanggung jawab Nabi Muhammad, begitu juga sebaliknya.

"Itulah kebiasaan kafir Quraisy dan jahiliyah. Mereka senantiasa menyetujui kebenaran bila yang mengikuti orang-orang kuat. Namun, kalau yang mengikuti adalah orang-orang lemah, maka dianggap sebuah ketidakbenaran," tegas Ustaz Ahmad.

Selanjutnya dalam surah al-An'am ayat 53 Allah berfirman, "Dan, demikianlah telah kami uji sebahagian mereka (orang-orang kaya) dengan sebahagian mereka (orang-orang miskin), supaya (orang-orang yang kaya itu) berkata: 'Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah Allah kepada mereka?' (Allah berfirman): Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orangorang yang bersyukur (kepada-Nya)?"

Ayat itu menyebutkan, ada manusia yang diuji dengan kekayaan ada pula yang diuji dengan kemiskinan. Ketika diuji dengan kekayaan dan takhtanya lantas digunakan untuk ibadah, membantu Islam, dan kaum Muslimin, ia me mang cocok dengan kekayaannya. Se baliknya, ketika kekayaan malah meru sak imannya berarti kekayaan itu bukan nikmat yang harus disyukuri.

Jadi, lanjut Ustaz Ahmad, apa pun keadaan ekonomi kita saat ini harus disyukuri. "Kalau ekonomi kita tidak naik-naik, mungkin itu kehendak Allah dan kebaikan untuk kita, karena siapa tahu kalau kita kaya kita menjadi orang yang rusak imannya, sombong, dan suka menghinakan orang lain," ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement