REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR — Usai menjalani 12 tahun sekolah mengenakan seragam, seseorang juga akan memasuki fase menjadi seorang mahasiswa atau mahasiswi yang mulai bisa diberikan keleluasaan berpikir. Mereka harus bisa menentukan masa depan mereka, melalui spesialisasi bakat dan minat yang dimiliki.
Namun Rektor Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Tazkia Sentul City Bogor, Murniati Mukhlisin, mengungkapkan memilih kampus dan spesialisasi jurusan tidak boleh sekadar untuk mengentaskan pendidikan agar mendapat gelar sarjana. Setiap mahasiswa dan mahasiswi yang menuntut ilmu di kampus, harus memiliki visi misi yang hebat.
“Ini yang ingin kami sajikan, bahwa kedepannya, STEI Tazkia harus memiliki sarjana atau buku-buku referensi yang paling dicari orang-orang. Misalnya, ketika ada yang ingin mencari sumber mengenai manajemen Islam, mereka langsung mengingat STEI Tazkia,” ungkap Murniati dalam Workshop on Integration of Knowledge yang di gelar di International Class Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Takzia, Sentul City, Bogor, Jawa Barat, Kamis (18/7).
Bagi mahasiswa dan mahasiswi yang memilih STEI Tazkia sebagai tempat menuntut ilmu, maka akan diarahkan bagaimana menentukan minat dan bakat mereka. Selain itu, mereka juga akan diarahkan untuk bersemangat mendaftar beasiswa-beasiswa pendidikan lanjutan di luar negeri.
Tentunya mereka juga akan diberikan pengajaran yang berstandar internasional, agar mampu bersaing secara global. Satu contoh tokoh, Yahya bin Umar, sebagai orang pertama yang menulis buku berjudul ‘Ahkam al-suq’ dan membahas tentang hisbah dan hukum pasar. Maka ketika orang hendak mencari referensi hukum pasar, pasti akan mencari buku tersebut.
“Ini pesannya, kami ingin memiliki modal integrasi ekonomi dalam Islam, kami ingin mengemukakan modal (untuk bisa menjadi orang pertama yang dicari dalam satu spesialisasi) dan membantu mengklasifikasi (minat maupun bakat),” papar Murniati.
Untuk menjadi orang berpengaruh, bagi dia, ada satu hal yang terlupakan oleh sebagian besar kampus-kampus di dunia, yakni membawa Alquran ke dalam kelas. Walaupun memang tidak semua setuju dengan ini, tetapi dengan membaca Alquran maka pemahaman tentang berbagai spesialisasi pasti akan terserap dengan baik.
Murniati berdiskusi dan berargumen dengan salah satu profesor matematika di Inggris, profesor tersebut berkata kepada Murniati, mengapa Murniati menyebut sejarah matematika berkaitan dengan Islam?
“Saya menjawab, bukan seperti itu, matematika adalah ilmu yang murni dan natural, tapi Islam mampu menemukan nilainya dan mempunyai semangat ketika berbicara tentang matematika. Bisakah kamu bawa Alquran ke kelas? Bisakah kamu bawa Rasulullah SAW ke kelas? Karena inilah pesan yang hilang,” kata Murniati.
Tanpa Alquran, dalam semua spesialisasi maka akan terasa ada yang kurang sempurna penyampaian maknanya. Alquran diabaikan, sementara semua orang sibuk dengan formula matematika, tapi tidak pernah sekalipun menyebut atau menjelaskan tentang matematika versi Alquran.
“Tentu tidak semua orang setuju dengan modul integrasi ini, tapi sekarang dengan kalian semua yang hadir di sini, kami ingin modul ini bisa diaplikasikan sampai akhir waktu dunia ini,” ungkap dia mengakhir pemaparannya mengenai ‘mind the gap’.