REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia didesak tidak tinggal diam menghadapi persoalan hak asasi manusia (HAM) yang dialami orang-orang Uighur di China. Hal itu disampaikan ketua Kantor Kerjasama Internasional dan Hubungan Luar Negeri PP Muhammadiyah, KH Muhyiddin Junaidi.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) bidang luar negeri itu juga meminta Indonesia agar menyatakan sikap secara terbuka kepada pemerintah Cina terkait persoalan Uighur.
Kiai Muhyiddin menuturkan, sebelumnya dirinya sudah bertemu dengan Menteri Luar Negeri Indonesia untuk menyampaikan hasil kunjungan MUI dan sejumlah ormas Islam di Xinjiang pada Februari lalu. MUI dan ormas-ormas Islam meminta agar kaum Muslimin Uighur diberi kebebasan dalam melaksanakan ibadah di ruang-ruang publik.
"Kami juga minta kepada duta besar China di Indonesia agar menyampaikan pesan dan permintaan kami ke pemerintah China, tanpa ada maksud untuk ikut campur dalam urusan dalam negeri China," kata KH Muhyiddin kepada Republika, Rabu (17/7).
Menurut dia, pelbagai pemberitaan sudah mengemukakan, di Xinjiang telah terjadi berbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM), terutama mengenai kebebasan menjalankan ibadah dan beragama.
Dalam kunjungan pada Februari 2019 itu, perwakilan MUI dan ormas-ormas Islam diundang oleh pemerintah China ke Xinjiang. Mereka sempat mengunjungi lokasi yang dianggap sebagai kamp konsentrasi untuk kaum Muslimin Uighur. Sekembalinya dari China, MUI dan ormas-ormas Islam membuat pernyataan.
"MUI bersama ormas-ormas Islam meminta kepada Pemerintah Cina agar mengizinkan umat Islam di Xinjiang dan tempat lain untuk mengamalkan ibadah di tempat umum," ujarnya.
Terkait Arab Saudi yang mendukung kebijakan China di Xinjiang, Kiai Muhyiddn menyebut, pihak Arab Saudi sudah bertemu dengan Presiden China. Antara kedua negara tersebut telah ada kesepakatan dalam konteks memerangi radikalisme.
Namun, yang patut digarisbawahi ialah jangan sampai ada generalisasi seakan-akan yang radikal adalah umat Islam. Apalagi, fakta di lapangan menunjukkan otoritas China kerap menganggap warga yang tidak patuh atau melanggar konstitusi sebagai radikal. "(Artinya) orang yang shalat, orang yang baca Alquran, orang yang puasa di hari kerja dianggap radikal," ujarnya.