Rabu 17 Jul 2019 19:49 WIB

KH Mas Abdurrahman Berdakwah di Jalur Pendidikan

KH Mas Abdurrahman kembali dari Makkah sekitar tahun 1910.

Pendidikan/Ilustrasi
Pendidikan/Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keberhasilan KH Mas Abdurrahman dalam menguasai ilmu agama selama bermukim di Makkah, membuatnya direncanakan diangkat sebagai asisten pengajar di tempat ia menuntut ilmu. Namun, karena adanya permohonan dari para ulama Banten agar beliau segera kembali ke Tanah Air, maka rencana tersebut urung terlaksana.

Ketika ditinggal KH Mas Abdurrahman, kondisi kampung halamannya, Menes, dan daerah di sekitarnya sangat memprihatinkan. Berbagai kemaksiatan merajalela, seperti judi, pencurian, pertengkaran, pacaran, dan lain-lain. Bahkan, setiap ada acara sunatan atau hajatan selalu diselenggarakan hiburan yang dibarengi dengan pesta minum-minuman keras.

Baca Juga

Dengan kondisi ini membuat prihatin seorang ulama bernama KH Soleh yang memiliki pesantren. Tetapi, kondisi tersebut tidak bisa ia tangani sendiri. Bahkan, KH Soleh pernah dicaci maki oleh masyarakat setempat. KH Soleh kemudian menemui salah seorang kenalannya, KH Jasin, untuk berkonsultasi. Kedua ulama ini berembuk untuk memulangkan KH Mas Abdurrahman dari Makkah. Sosok KH Mas Abdurrahman dianggap keduanya sangat cocok dan mampu mengatasi kondisi yang terjadi di Menes.

KH Mas Abdurrahman kembali dari Makkah sekitar tahun 1910. Sepulangnya ke Tanah Air, beliau aktif melakukan dakwah dan menggalakkan pendidikan Islam.Tetapi, beliau berpikir bahwa pendidikan itu harus diajarkan secara terarah dan memiliki kurikulum yang jelas.

Maka, ia pun kemudian mulai merintis sebuah lembaga pendidikan Islam di Menes yang nantinya akan dikelola dan diasuh secara jamaah dengan mengoordinasikan berbagai disiplin ilmu, terutama ilmu Islam, yang dianggap merupakan kebutuhan yang mendesak saat itu.

Pada 10 Juli 1916 didirikanlah sebuah lembaga pendidikan Islam bernama Mathla'ul Anwar (MA) yang memiliki arti 'terbitnya cahaya'. Saat awal berdiri, kegiatan belajar mengajar diselenggarakan di rumah KH Mustaghfiri, seorang dermawan Menes yang bersedia meminjamkan ruangan di rumahnya untuk dipergunakan sebagai tempat belajar mengajar.

Selanjutnya, dengan modal wakaf tanah dari Ki Demang Djasudin yang terletak di pinggir jalan raya, dibangunlah sebuah gedung madrasah dengan cara gotong royong oleh seluruh masyarakat Menes pada 1920. Bangunan pertama ini berukuran seluas 1.000 meter persegi, yang sampai saat ini masih berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan mulai dari tingkat Taman Kanak-kanak (TK) sampai Madrasah Aliyah (setingkat SMA).

Dari bangunan madrasah inilah mulai dihasilkan kader-kader mubaligh serta kiai dan ulama Mathla'ul Anwar yang kemudian bergerak menyebarluaskan lembaga pendidikan ini hingga ke luar daerah Pandeglang, seperti ke Kabupaten Lebak, Serang, Tangerang, Bogor, Karawang sampai ke wilayah Lampung. Pada 1936, jumlah madrasah Mathla'ul Anwar telah mencapai 40 yang tersebar di tujuh daerah tersebut.

Perhatian masyarakat terhadap keberadaan Mathla'ul Anwar tidak lagi terbatas dari kalangan pelajar, tetapi kaum intelektual pun mulai berpartisipasi aktif. Dengan proses perkembangannya yang sangat pesat, maka timbulah gagasan-gagasan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas serta mengembangkan lembaga pendidikan ini menjadi sebuah wadah organisasi masyarakat Islam. Maka, pada 1936 diadakan kongres pertama Mathla'ul Anwar.

Kendati keberadaan Mathla'ul Anwar sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam pada awalnya tidak terlepas dari peranan KH Mas Abdurrahman, namun dalam muktamar pertama tersebut beliau tidak ikut serta duduk dalam kepengurusan organisasi Islam ini. Oleh para pengurus Mathla'ul Anwar, beliau dipercaya sebagai inspektur (pengawas) yang berkedudukan di pusat. Jabatan ini diamanatkan kepada KH Mas Abdurrahman sampai wafatnya.

Selama berkiprah di Mathla'ul Anwar, KH Mas Abdurrahman pernah mengeluarkan fatwa dan pandangannya. Beliau pernah mengeluarkan pandangannya bahwa pemerintah kolonial Belanda adalah kafir.

Karenanya, menurut dia, menerima gaji dari pemerintah kolonial Belanda adalah haram, sampai-sampai anaknya pun tidak boleh masuk ke sekolah yang didirikan oleh penjajah Belanda saat itu. Satu lagi fatwanya, jika seseorang dinikahkan oleh Naib atau petugas laki-laki di KUA maka dianggap tidak syah dan harus dinikahkan kembali oleh kiai yang bukan pegawai pemerintah kolonial Belanda.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement