REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejarawan al-Zugnin dalam tulisannya menjelaskan secara perinci tata cara sensus. Ia mengatakan, sensus berjalan atas instruksi khalifah atau bisa pula karena inisiatif gubernur.
Kemungkinan lain karena mendesaknya kebutuhan data baru yang harus dimiliki oleh badan kependudukan dan pertanahan. Pelaksana sensus di lapangan adalah para petugas resmi. Biasanya, mereka adalah pegawai pemerintah di tingkat provinsi.
Terkadang, petugas dari ibu kota bertindak sebagai pengarah serta pengawas. Jangka waktu sensus juga dibatasi, misalnya dua atau enam bulan. Para petugas disebar ke sejumlah desa, kota, serta permukiman. Mereka mengumpulkan informasi yang dibutuhkan dari rumah ke rumah.
Penduduk diambil datanya, mulai dari nama, silsilah, usia, jenis kelamin, jumlah anak, pekerjaan, dan sejumlah informasi lainnya. Data penduduk meliputi harta kekayaan, luas tanah yang dimiliki, jumlah pohon produktif yang ada, jumlah ternak, hingga pendapatan mereka per bulan.
Mengacu pada data ini, dapat diketahui komposisi penduduk Muslim dan non-Muslim di suatu kawasan secara akurat. Ini misalnya terjadi di Nessana, Suriah. Tak hanya komposisi, data sensus menjadi rujukan dalam menentukan besaran pajak yang dikenakan bagi warga Muslim dan non-Muslim.
Dengan itu pula, penguasa dapat mengubah sebaran penduduk. Warga Muslim diarahkan ke lokasi yang jumlah umat Muslimnya masih sedikit. Kebijakan ini secara khusus berlaku pada wilayah yang baru ditaklukkan umat Muslim. Sensus pun efektif mengungkap perbandingan jumlah penduduk, yaitu antara warga asli dan pendatang dari negara asing.
Menurut al-Zugnin, seluruh informasi dari proses pelaksanaan sensus dicatat secara sistematis dan dilaporkan langsung kepada khalifah atau gubernur. Data sensus juga bisa diakses pejabat lain yang membutuhkannya dalam merumuskan kebijakan.