REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sensus dan survei menjadi media penting. Melalui data sensus dapat dirumuskan beraneka kebijakan. Konsep dan metodologi juga berkembang seiring perkembangan zaman. Hal ini terjadi juga pada abad pertengahan. Di dunia Islam, sensus mulai tertata lebih baik dan sistematis ketika Dinasti Umayyah memangku kekuasaan.
Kegiatan dan sistem pelaksanaan sensus diawali pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Sensus dilakukan untuk mendapatkan data berapa jumlah penduduk yang ada. Saat itu pemerintah harus menyalurkan dana sisa belanja, termasuk memberikan dana pensiun para prajuritnya.
Philip K Hitti menjelaskan melalui bukunya History of the Arabs, inilah sensus pertama dalam sejarah yang bertujuan menyalurkan dana pemerintah. Dan, praktik ini terus bertahan. Pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah, sensus juga mengalami perkembangan lebih luas dan dimanfaatkan untuk kepentingan lebih luas.
Lahir hal-hal baru seperti metodologi, kajian, sebaran, dan fungsi sensus. Seperti pada zaman modern, para penguasa berpedoman pada hasil sensus sebelum menetapkan kebijakan.
Ilmuan Wadad al-Qadi menjelaskan secara lebih mendalam mengenai sensus yang dilakukan pada masa Umayyah. Dalam tulisannya berjudul Population Census and Land Surveys Under the Umayyads, Qadi mengatakan, pada masa itu pemerintah mengembangkan sensus penduduk dan survei pertanahan. Dua kebijakan ini mempunyai fungsi dan tujuannya masing-masing. Kala itu, salah satu fungsi sensus penduduk terkait dengan penarikan pajak.
Sedangkan, survei tanah berguna untuk mengetahui sejauhmana wilayah kekuasaan dan patok batas dengan negeri tetangga. Hal ini sebagai peneguh kedaulatan wilayah. Karena itu, pemerintah menganggap sensus dan survei sangat vital bagi keberlangsungan dan kemajuan. Pelaksanaannya secara periodik.
Qadi menuturkan, sensus penduduk terfokus pada pengumpulan informasi mengenai demografi kependudukan. Beberapa aspek mendapat penekanan, antara lain populasi penduduk, status perkawinan, angka kematian, perpindahan penduduk, dan komposisi penduduk.
Sementara itu, pada survei pertanahan, hal-hal yang menjadi perhatian utama adalah luas kepemilikan tanah tiap-tiap keluarga atau individu. Selain itu, para petugas pemerintah menghitung luas lahan di kawasan perbatasan, termasuk lahan produktif dan lahan tak produktif.
Survei ini bermanfaat pula untuk mengidentifikasi lahan pertanian hingga kawasan pertambangan. Tak jarang, ungkap Qadi, sensus penduduk dan survei pertanahan berjalan dalam waktu bersamaan. Sejumlah sejarawan merekam beberapa sensus yang pernah berlangsung pada masa kekuasaan Dinasti Umayyah.
Sensus pertama di Provinsi Basra dan Kufah, Irak. Khalifah Muawiyah memerintahkan salah satu pejabatnya, Abdullah bin Daraq, melakukan sensus penduduk. Sensus ini, mendata jumlah warga yang berkewajiban membayar pajak. Hasil akhirnya, pemerintah ingin meningkatkan pendapatan dari pajak.
Terbukti, beberapa bulan kemudian setelah sensus selesai, jumlah pajak yang diperoleh negara dari kedua wilayah tersebut meningkat tajam. Angkanya mencapai 50 juta dirham. Selanjutnya, sensus serupa berjalan di wilayah-wilayah lain yang menjadi bagian kekuasaan Dinasti Umayyah.
Berikutnya, Khalifah Yazid II (719-723) memerintahkan survei pertanahan di Provinsi Basra dan Kufah. Lingkupnya mencakup penghitungan luas lahan, bangunan, serta jumlah tumbuhan, seperti pohon kurma. Melalui survei ini, pemasukan dari pajak tanah mengalami kenaikan signifikan.
Sensus dan survei pada masa itu juga dianggap sangat penting untuk memperbarui data-data lama yang sudah ada. Sebab, sensus penduduk maupun pendataan tanah terakhir kali dilaksanakan pada saat Khalifah Umar memegang tampuk kekuasaan. Ada rentang waktu yang cukup panjang.