REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Secara bahasa, hijrah berarti berpindah, meninggalkan, berpaling, dan tak mempedulikan lagi. Hijrah mempunyai beberapa pengertian. Pertama, kaum Muslim meninggalkan negerinya yang berada di bawah kekuasaan pemerintahan kafir. Kedua, menjauhkan diri dari dosa. Ketiga, permulaan tarikh Islam.
Hijrah dalam sejarah Islam biasanya dihubungkan dengan kepindahan Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah. Dalam hubungan ini, hijrah berarti berkorban demi Allah SWT, yaitu memutuskan hubungan dengan yang paling dekat dan dicintai demi tegaknya kebenaran, dengan jalan berpindah dari kampung halaman ke negeri orang lain.
Hijrah seperti ini telah menjadi pusaka para rasul sebelum Nabi SAW, dan terbukti telah menjadi babak pendahuluan bagi kebangkitan perjuangan.
Dalam menjalankan tugas kerasulannya di Makkah, Nabi Muhammad SAW berhadapan dengan masyarakat jahiliah, yakni masyarakat pemeluk nilai-nilai warisan Nabi Ibrahim AS, yang telah mereka kesampingkan dari bentuk yang sebenarnya. Inti warisan itu adalah pengesaan terhadap Allah SWT. Pada saat itu, penyembahan terhadap berhala dan perbuatan syirik lainnya telah merusak ajaran tauhid.
Nama Allah SWT, meskipun masih ada dalam kepercayaan mereka, telah tenggelam dalam nama-nama dan sembahan lainnya. Kepercayaan semacam ini telah mengundang banyak pemeluknya untuk datang ke Ka’bah, demi menunaikan ibadah haji sambil berdagang. Sehingga, Makkah mejadi pusat perdagangan yang ramai dikunjungi para pengunjung.
Akibatnya, Suku Quraisy, terutama para penguasa dan pemukanya, menjadi kaya. Ka’bah dan kepercayaan dipandang sebagai sumber utama kekayaan mereka pada akhirnya. Ketika Nabi Muhammad SAW memulai tugasnya dengan menekankan aspek keesaan Allah SWT (tauhid), mereka segera membangkitkan sikap permusuhan terhadap Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW bersama para sahabatnya mendapat perlakuan buruk dan kasar dari orang-orang Quraisy yang masih kafir. Umat Muslim dikejar-kejar dan dianiaya. Ketika melihat kondisi Makkah tak lagi aman bagi umatnya, Nabi Muhammad SAW mengizinkan sebagian pengikutnya untuk mencari keamanan di negeri Abessinia (Ethiopia), yang penduduknya beragama Nasrani, dan rajanya bernama Najasyi (Negus), yang dikenal adil dan bijaksana.
Pasca wafatnya Siti Khadijah dan Abi Thalib, ruang gerak Rasulullah SAW untuk berdakwah di Makkah semakin sempit. Saat itu sudah memasuki tahun ke-10 kenabian. Untuk menyelamatkan diri dari kekerasan dan kekejaman kafir Quraisy, Rasulullah pun mencoba bertandang ke negeri Ta’if (sekitar 65 km dari Makkah). Namun, Rasulullah justru mendapatkan perlakuan yang lebih buruk dan dilempari hingga terluka.
Setelah Perjanjian Aqabah, Rasulullah SAW menyiapkan Hijrah ke Yatsrib secara matang. Sebab, target utama kaum musyrik Makkah adalah menggagalkan hijrah kaum Muslim. Rasulullah menyiapkan bekal, kendaraan, penunjuk jalan, strategi, dan rute yang akan ditempuh. Beliau juga meminta Abu Bakar ash-Shiddiq dan seorang pemandu jalan yang bernama Abdullah bin Uraiqit untuk menemaninya.
Rasulullah meninggalkan rumah pada malam hari di 27 Shafar tahun ke-13 kenabian, atau bertepatan dengan 12 atau 13 September tahun 622 Masehi. Perjalanan awal keluar Makkah justru menempuh jalan yang berlawanan dengan jalan menuju Madinah. Hal ini dimaksudkan untuk mengecoh para pengejar. Gua Tsur adalah tempat tujuan mereka. Di gua ini mereka bermalam selama tiga hari. Kaum musyrik Quraisy sempat mengejar, tetapi keberadaan Rasulullah dan Abu Bakar di dalam gua tidak diketahui mereka.
Rasulullah SAW akhirnya tiba di Yatsrib pada Jumat 12 Rabiul Awal di tahun yang sama. Nabi SAW disambut penduduk Madinah dengan meriah.
(disarikan dari Ensiklopedi Islam terbitan Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta).