Ahad 07 Jul 2019 19:14 WIB

MUI Tanggapi Wacana Pelegalan Qanun Poligami di Aceh

Praktik poligami tidak boleh merugikan perempuan, keluarga, hingga calon anak.

Rep: Muhyiddin/ Red: Indira Rezkisari
Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Cholil Nafis
Foto: Republika TV/Muhammad Rizki Triyana
Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Cholil Nafis

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, KH Cholil Nafis menanggapi rencana Pemerintah Aceh yang akan melegalkan poligami bagi masyarakat di daerah itu. Manurut dia, peraturan tentang poligami sebenarnya sudah diatur oleh pemerintah Indonesia melalui UU nomor 1 tahun 1974.

"Yang saya pahami dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 74 itu dilegalkan poligami dan sah, tidak bertentangan atau sesuai dengan syariat Islam. Hanya saja, meskipun legal tidak berarti sembarang orang poligami," ujar Kiai Cholil saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (7/7).

Baca Juga

Karena, menurut dia, dalam undang-undang itu ataupun dalam ajaran Islam, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk berpoligami. Menurut dia, syarat utama yang harus dipenuhi adalah mampu berbuat adil, yang mana pasti terkait dengan masalah ekonomi atupun waktu.

"Jadi menurut saya, mau didukung ataupun tidak didukung (qanun poligami di Aceh), undang-undang kita sudah melegalkan dan tidak melarang untuk poligami," ucap Kiai Cholil.

Dia pun mempertanyakan rancangan peraturan daerah (qanun) poligami yang akan diterapkan di Aceh. Karena, menurut dia, persyaratan seseorang yang ingin berpoligami harus sangat ketat.

"Saya juga belum membaca tentang draft qanun di Aceh, bolehnya itu bagaimana? Kalau tidak ada persyaratan saya pikir tidak tepat. Karena Alquran pun juga memberikan persyaratan. Kalau sekiranya khawatir dan takut untuk tidak berbuat adil ya cukup satu saja," kata kiai kelahiran Madura ini.

Jadi, tambah dia, poligami itu sebenarnya sudah sah dan legal menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan menurut Alquran dan hadits. Namun, kata dia, tidak berarti semua orang akan mampu melaksanakannya, sehingga perlu memberikan persyaratan yang diatur oleh negara.

"Sehingga di samping tidak merugikan pada perempuan, juga tidak merugikan terhadap kehidupan berkeluarga, terhadap anak yang akan dilahirkan, dan juga terhadap pembangunan keluarga yang sehat dan keluarga yang berkualitas," jelas Kiai Cholil.

Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) sedang membahas peraturan daerah atau qanun untuk melegalkan poligami. Pasalnya, di Aceh kini sedang banyak terjadi praktik pernikahan siri. Namun, rencana melegalkan poligami itu masih berupa wacana, sehingga belum pasti.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement