Jumat 05 Jul 2019 05:00 WIB

Penerapan Hukum Syariat di Aceh dalam Sorotan Dunia

Penerapan hukum Syariat di Aceh dibenturkan dengan HAM.

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Nashih Nashrullah
Polisi Wilayathul Hisbah (WH) Dinas Syariat Islam Kabupaten Aceh Barat melakukan razia busana muslim di desa Drien Rampak, kecamatan Arongan Lambalek, Kabupaten Aceh Barat.
Foto: Antara/Irwansyah Putra
Polisi Wilayathul Hisbah (WH) Dinas Syariat Islam Kabupaten Aceh Barat melakukan razia busana muslim di desa Drien Rampak, kecamatan Arongan Lambalek, Kabupaten Aceh Barat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Provinci Aceh adalah salah satu daerah di Indonesia yang paling religius. Wilayah di ujung utara Sumatera ini merupakan satu-satunya bagian dari kepulauan yang menjatuhkan hukuman kepada penduduknya berdasarkan hukum Islam. 

Dalam sejarahnya, Aceh merupakan salah satu kesultanan Islam paling kuat di Asia Tenggara. Daerah ini telah lama menggunakan jenis hukum Islam informal yang dipadukan dengan hukum setempat atau yang dikenal "hukum adat". 

Baca Juga

Undang-undang tersebut ditingkatkan ketika konflik separatis Aceh berakhir pada 2005. Secara bertahap, undang-undang tersebut diperluas ke lebih banyak pelanggaran dan terakhir dilakukan pada 2014. Namun faktanya, penerapan hukum syariah ini ditanggapi berbeda oleh berbagai pihak. 

Direktur Eksekutif Amnesty Indonesia, Usman Hamid, mengatakan polisi syariah memantau perilaku publik dan menegakkan aturan. Termasuk, dalam kaitannya dengan pakaian perempuan.

Mereka yang dapat dikenai hukuman cambuk di hadapan publik ialah yang melakukan pelanggaran seperti seks gay (dihukum hingga 100 cambukan), zina (melakukan hubungan seks di luar pernikahan), perjudian, dan penjualan serta konsumsi alkohol. 

Menurut Human Rights Watch, pada 2016 atau tahun pertama saat hukum Islam diterapkan di Aceh, ada sebanyak 339 orang, termasuk 39 wanita, dicambuk.   

Usman melanjutkan, hukum syariah di Aceh memang adalah KUHP Islam Aceh atau penggunaan hukuman fisik yang menjunjung tinggi pandangan Islam di Aceh. Namun begitu, dia mengatakan praktik cambuk tersebut telah menarik perhatian kalangan masyarakat internasional. 

photo
Terpidana (duduk) pelanggar peraturan daerah (qanun) tentang syariat islam menjalani eksekusi hukuman cambuk di hadapan warga di halaman Masjid Jami' Kemukiman Lueng Bata, Banda Aceh, Aceh, Jumat (20/4).

"Tetapi dalam kenyataannya, banyak ketentuan hukum adalah pelanggaran hukum dan standar hak asasi manusia internasional, yang menciptakan hambatan serius bagi perempuan dan anak-anak perempuan untuk melaporkan pemerkosaan atau bentuk kekerasan seksual lainnya," kata Usman, dilansir di Aljazeera, Kamis (4/7).

Hamid menuturkan, tidak seorang pun yang dicambuk siap untuk berbicara tentang apa yang terjadi padanya, bahkan secara anonim pun. Menurutnya, banyak yang memilih pindah ke tempat lain setelah mendapat hukuman tersebut lantara stigma yang diterimanya. 

Dalam hal ini, Hamid menyebut bahwa hukuman cambuk di depan umum melanggar hukum internasional yang melarang penyiksaan dan perlakukan kejam, tidak manusiawi atau merendahkan lainnya. 

Hal itu, kata dia, diatur dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan Konvensi PBB yang menentang Penyiksaan dan Perlakuan Kejam lainnya, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat. 

Apalagi, Indonesia adalah negara peserta PBB. Dia menilai hukuman tersebut lebih berat ketimbang pemukulan ringan dengan tongkat, seperti yang kerap digambarkan oleh para pendukung hukuman tersebut. 

Seorang dosen komunikasi di Universitas Ar-Raniry di Banda Aceh, Hendra, mengatakan meskipun ada orang yang menentang hukuman dalam hukum Islam, hanya sedikit yang mau membahas masalah itu secara terbuka. Menurutnya, orang-orang takut untuk berbicara dan mengatakan bahwa mereka tidak mendukung hukuman cambuk di depan umum. 

"Mereka mengambil sikap bahwa mereka melihat mereka (yang dicambuk), tetapi mereka tidak tahu apa-apa tentang kasus atau hukum. 'Bukan urusan saya' adalah bagaimana banyak orang memandangnya," kata Hendra. 

Sebelumnya, Hendra berpikir hukuman cambuk semacam itu tidak begitu mengganggu atau menarik perhatiannya. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, dia mulai berpikir berbeda. "Saya selalu berpikir, 'Bayangkan jika itu anggota keluarga saya'. Apakah orang-orang ini benar-benar pantas menerima ini?" ujarnya.

Sementara itu, seorang aktivis dan peneliti yang berbasis di Banda Aceh, Aryos Nivada, mengatakan rasa malu dan penghinaan adalah kekuatan utama di balik hukum Islam. 

Menurutnya, faktor yang memalukan adalah mengapa hukuman itu dilakukan di depan umum. Biasanya, hukuman cambuk dilakukan di depan masjid setempat. Biasanya, mereka yang menyaksikan mengambil foto dan video peristiwa tersebut. Beberapa kemudian diunggah ke internet. 

Hukum cambuk sempat dihentikan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf tahun lalu. Namun, setelah dia ditangkap karena kasus korupsi Juli lalu, hukum Islam semacam ini dilanjutkan. 

Aryos mengatakan, tidak ada kemungkinan hukuman di bawah hukum Islam akan ditinggalkan di Aceh mengingat erat kaitannya dengan budaya tradisional Aceh. "10 tahun ke depan, Aceh masih akan menerapkan hukum syari'ah. Itu bagian dari karakter Aceh," kata Aryos. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement